BAGIAN VII

4.9K 192 0
                                    

Ijinkanlah aku mengukir namamu sebagai awal dan akhir pelangi dalam hidupku

◆◆◆

Aku duduk di sofa ruang tamunya sambil disajikan secangkir teh manis hangat.
"Terima Kasih" kataku saat pembantu rumah tangga Farhan menaruh cangkirku di atas meja.

Aku menyeruput teh dengan perlahan-lahan sambil mencoba mencerna kejadian hari ini.

"Farhan? Kamu kenapa sih? Tumben banget hari ini" tanyaku dengan penasaran. Sedari tadi Farhan tidak mengeluarkan suaranya sama sekali. Tetapi aku tau bahwa Farhan berada tidak jauh dari jangkauanku.

"Aku benar-benar minta maaf Ruth, aku juga punya masa lalu yang ingin kulupakan, ini semua seperti sangat tiba-tiba untukku" jawab Farhan dengan nada sedikit beremosi.

Sebenarnya, masa lalu seperti apa yang Farhan miliki?

"Far... Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa cerita ke aku kok" jawabku sambil menunjukkan senyuman. Entah mengapa, ada rasa sedih yang hinggap di hatiku saat "melihat" Farhan sedih. Ada rasa di mana aku ingin dia bahagia. Aku tidak ingin dia memiliki kesedihan sepertiku, yang hidup dalam kegelapan.

Tidak ada jawaban apapun dari Farhan. Sepertinya dia belum siap untuk menceritakan semuanya. Dan aku paham dengan hal itu. Aku akan kembali ke tempat itu besok, dengan atau tanpa Farhan sekalipun tak masalah. Aku tidak ingin Farhan menderita lagi.

"Farhan? Sekarang sudah jam berapa ya? Aku tidak boleh pulang larut malam" kataku ketika aku teringat tentang larangan mama soal anak perempuan tidak boleh pulang larut malam.

"Hmm, sekarang sudah jam 4. Tidak terasa... , kamu mau pulang sekarang?" jawab Farhan dengan tidak sesemangat biasanya.

"Boleh. Lagipula sepertinya kamu juga harus istirahat" jawabku dengan lembut.

"Ruth, apa kamu mau ke tempat itu lagi?" tanyanya yang membuatku langsung salah tingkah.

"Ah! Tidak apa-apa kok, besok aku pergi dengan Kak Erin saja, kamu tidak usah pedulikan aku" jawabku dengan perasaan tidak enak kepada Farhan. Coba saja aku tidak memintanya untuk mengantarku hari ini, pasti semuanya akan baik-baik saja.

"Ruth, aku ingin ke sana lagi bersamamu. Kali ini aku merasa sudah siap dan kebetulan arah ke tempat parkir mobil juga melewati jalan itu" kata Farhan dengan nada mantap di setiap kata-katanya.

Aku hanya mengangguk pelan dan mulai menuntun langkahku dengan tongkat.

Entah karena dia merasa kasihan atau bagaimana, dia meraih tangan kananku dan menggandengnya.
Tiba-tiba aku merasakan hawa panas di mukaku. Dengan buru-buru aku menundukkan mukaku agar tidak dilihat olehnya.

Ini perasaanku saja atau memang hari ini dia sering sekali menggandeng tanganku.
Perasaan senang mulai hinggap di dalam hatiku. Diam-diam aku berdoa agar Farhan tidak melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

Kami berjalan dengan cukup santai sambil menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi. Tiba-tiba ada pertanyaan yang muncul di benakku.

Ini jalannya seperti apa ya?

"Farhan! Aku mau tau dong, jalanan di sini dan lingkungannya seperti apa? Soalnya enak nih udaranya, sejuk... " tanyaku dengan senyuman lebar menikmati angin yang seakan-akan menampar wajahku.

"Di sini, daerah yang jarang penduduk. Di depan itu udah Jalan Merdeka. Jalanannya cukup besar karena memang jalan raya. Di dekat Jalan Merdeka itu ada taman kota yang cukup bagus dan luas. Saat aku kecil, aku dan papa sering bermain di sana. Lalu, di sebelah kiri jalan raya, banyak pohon-pohon yang besar termasuk di tempat terjadinya kecelakaan" jawabnya dengan suara yang sudah mulai santai tidak seperti tadi. Sepertinya Farhan sendiri sudah mulai menikmati indahnya hari ini.

Aku dan Farhan sampai di tempat tujuan awal kami. Tempat terjadinya kecelakaan seperti dalam buku majalahku.

"Ruth, itu bukan hanya cerita biasa. Itu adalah kisah nyata. Kisah yang membuat banyak orang berduka. Kisah yang membuat banyak orang mengeluarkan air mata. Dan kisah yang tidak ingin diingat-ingat kembali. Tetapi ini kenyataan, kenyataan yang memang harus tetap dihadapi, sepahit apapun itu" kata Farhan dengan nada yang sangat sedih.

Seperti bisa merasakan kesedihannya, seketika air mataku jatuh dengan sendirinya tanpa kusadari.

Tiba-tiba ada bayangan kabur yang muncul di kepalaku. Bayangan benda-benda yang berjatuhan. Benda-benda kecil yang berjatuhan dari langit. Aku memejamkan mataku, tetapi bayangan itu seperti terekam di dalam kepalaku. Rasanya sakit sekali, sampai aku mendengar jeritan Farhan sebelum aku tak sadarkan diri.

●●●●

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang