20

11K 798 8
                                    

Aku yang telah salah mengartikan sebuah perhatian yang memang sewajarnya kamu berikan.

***

Aku bahkan tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja rasa ini muncul. Haruskah aku menyalahkan dirimu, yang dengan mudahnya membuatku luluh? Aku tahu, aku yang telah salah mengartikan. Aku sudah salah mengartikan sebuah perhatian yang memang sewajarnya kamu berikan. Aku salah menerima apa yang kamu berikan.

***

"Kok aku nggak nemu jawabannya yah?" ujar Reevan sambil menggaruk-garuk kepalanya, rambutnya pun menjadi sedikit acak-acakan.

Sekarang, Reevan dan Queena berada di dalam perpustakaan dengan beberapa tumpuk buku tebal. Hari ini Queena sengaja pulang lebih sore dari biasanya. Tadi malam, Reevan menghubunginya, dan memintanya untuk mengajari Reevan materi Kimia lagi.

"Hhh!! Kak Reevan, Rara kan sudah bilang, kalau ada soal kayak gini, yang dikerjain duluan tuh pakai rumus ini," Queena menunjuk-nunjuk rumus di buku tebal yang ada di depan Reevan. Dia sangat geram melihat Reevan yang dari tadi tidak kunjung mengerti juga dengan yang ia ajarkan.

Reevaan nyengir kuda, sedangkan Queena diam-diam tertawa geli melihat ekspresi Reevan.

Di sisi lain, Syifa datang sambil membawa kotak makan. Langkahnya terhenti ketika melihat kakak sepupunya dan sahabat dekatnya sedang asik sekali mengobrol berdua. Ia menundukkan kepalanya, lalu perlahan melangkah keluar.

"Syifa!" suara berat dan bulat itu berhasil membuat Reevan dan Queena menoleh. Syifa pun juga kembali menghentikan langkahnya.

Syifa membalikkan badannya, dan melihat ke arah orang yang memiliki suara itu.

"Iya Pak?" . Dilihatnya Pak Yana sedang duduk menopang dagu di meja kerjanya.

"Kamu kok nggak jadi masuk?"

Syifa nyengir, bingung. Matanya bolak-balik mengarah ke sana ke mari. Reevan dan Queena menatapnya serius.

"Mm, sa-saya..." kata-kata Syifa terputus. Cara bicaranya terdengar sangat gugup, dan terbata-bata.

"Saya tadi lupa Pak, kalau di perpustakaan nggak boleh bawa makanan. Tapi, saya malah bawa. Saya juga mau buang sampah dulu di luar, sekalian mau makan," jawab Syifa berbohong. Pak Yana hanya mengangguk, sambil tersenyum kecil. Syifa kemudian keluar perpustakaan, dan berjalan menuju tempat sampah. Karena tidak ingin berbohong, dia mengeluarkan tisu kotor dari sakunya, dan kemudian membuangnya. Kebetulan, selepas istirahat sholat dhuhur tadi dia lupa membuang bekas tisu dari saku bajunya. Syifa duduk, membuka satu kotak makan yang tadi dia bawa. Dengan perlahan, dia mengunyah makanannya. Kalau bukan karena dia tidak ingin berbohong pada Pak Yana, dia tidak akan makan sendiri seperti ini. Rasanya tidak enak.

Syifa menolehkan kepalanya, menatap Queena dan Reevan. Ia menghela nafas panjang.

"Keadaan kamu gimana Ra? Sudah baikan setelah kemarin?" tanya Reevan ketika mereka berdua sudah mengakhiri belajar barengnya. Queena menatap Reevan dengan tatapan penuh tanya. Namun, hanya selang beberapa detik, Queena pun sudah mengerti maksud Reevan.

"Alhamdulillah Kak".

"Mm.." Reevan hanya menggumam, dan menggantungkan perkataannya, tidak kunjung melanjutkannya.

"Kenapa kak?"

"Ra, apa kamu masih memiliki perasaan kepada Adnan?"

Skak! Pertanyaan itu berhasil membuat Queena membeku. Lidahnya kelu, dan bingung harus menjawab apa.

"Kenapa Kakak tanya gitu?"

"Ra, bisakah kamu jawab pertanyaan aku dulu, tanpa harus tanya yang lain?"

Queena langsung terdiam, seolah mulutnya benar-benar terkunci. Matanya tidak berani mengarah pada Reevan. Detak jantungnya berdetak lebih cepat. Entahlah. Queena saat ini hanya mampu diam seribu bahasa.

"Ra?" Reevan kembali memanggil nama Queena.

"Ka, sejak Adnan benar-benar menyuruh aku untuk berhenti mencintainya, aku sudah membuang semua perasaan aku ke dia. Sejak hari itu, semuanya sudah hilang. Bahkan, ketika Adnan memintaku untuk kembali kepadanya, tekadku sudah bulat. Bahwa, aku akan tetap melepasnya," jawab Queena mencoba santai dan setenang mungkin.

"Tapi, setelah kamu tahu kalau tujuan Adnan melakukan semuanya itu hanya karena dia ingin melindungi kamu dari Lesa, apa kamu..."

"Nggak Kak! Aku sama sekali nggak berpikiran untuk kembali sama dia, entah apapun itu alasannya!" kali ini Queena yang memotong perkataan Reevan. Suaranya lantang, seolah tidak ada keraguan.

"Terus, kenapa kemarin kamu menangisinya?"

Lagi, dan lagi, Queena terdiam. Dirinya kali ini merasa benar-benar sedang dipojokkan. "Aku hanya mengingat sesuatu yang berkaitan dengan dia".

"Itu tandanya kamu masih memikirkannya kan?" Reevan tertawa getir. Namun, Queena langsung mengelak apa yang dituduhkan Reevan padanya itu.

"Aku hanya ingat sesuatu yang berhubungan dengan dia, bukan berarti aku teringat dengannya, Kak".

"Sama saja". Ujar Reevan singkat, tapi menusuk.

"Lagipula, mau aku masih suka atau tidak, apa urusan Kakak dalam masalah pribadi aku?!" Queena sepertinya sudah sedikit terpancing emosi.

Kali ini, malah Reevan lah yang dibuat diam. Dia memalingkan pandangannya dari Queena.

"Kalau aku me..."

"Ra! Sudah sore, ayo kita pulang!". Tiba-tiba saja Syifa datang dan langsung menarik tangan Queena. Reevan yang tadi hendak mengatakan sesuatu, kini hanya bisa menahannya, dan bingung melihat tingkah adik sepupunya itu.

"Tapi Fa," Queena berusaha mengelak.

"Udah ayo!" Syifa tetap memaksa, dan kemudian ia menggandeng Queena pergi meninggalkan perpustakaan. Sebelumnya, Syifa mengucapkan salam dulu kepada Reevan, diikuti dengan Queena.

"Astaghfirullah, hampir saja tadi aku mengakui semuanya," ujar Reevan dalam hatinya sambil mengusap wajahnya. Ia kemudian membereskan semua buku-buku yang tadi dia gunakan, dan memasukkan beberapa ke dalam tasnya.

***

"Syifa, kamu tadi kenapa sih, kok kelihatannya buru-buru gitu?" tanya Queena sedikit mengencangkan suaranya, karena sekarang dia sedang membonceng Syifa dengan motornya. Ia tidak mau kalah dengan suara deru motor.

"Nggak papa Ra. Cuma tadi sudah sore saja," jawab Syifa lembut. Pandangannya masih fokus ke depan.

"Sore? Sekarang baru jam setengah lima loh Fa. Biasanya juga kita pulang ekskul jam setengah 6 kan?"

Tidak ada jawaban apa pun dari Syifa.

"Fa?!"

"Eh iya?" Syifa sedikit terperanjat.

"Kok ngelamun?"

"Mm, enggak kok. Oh iya, tadi itu aku lihat sudah jam setengah enam kok, atau jangan-jangan jam tanganku yang error yah?" jawab Syifa beralasan. Tanpa sepengetahuan Syifa, diam-diam dari belakang Queena mengintip jam tangan Syifa. Normal-normal saja. Jam tangan Syifa menunjukkan waktu yang sama dengan waktu sekarang. Queena melihat Syifa dengan curiga. Sebisa mungkin, dia menepis semua pikiran negatif tentang sahabatnya itu.

"Syifa nggak mungkin bohong," batinnya.

"Yaudah, nggak papa. Naik motornya jangan sambil ngelamun!" ujar Queena seraya mengingatkan.

Syifa hanya membalasnya dengan anggukan.

.

.

Readers Wattpad yang selalu sabar menunggu kelanjutan part dan sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini, komentar baik dan kritik saran kalian sangat memberikan energi baru untuk aku supaya terus berusaha memberikan karya terbaik. Semoga cerita ini dapat diterima dan selalu ada hal baik yang bisa diambil dari setiap bagian ceritanya. Aamiin.

Selain Wattpad, kalian juga bisa menyapa aku di akun Instagram : @projectangitku atau @husnantiaulia.

Sampai jumpa di part berikutnya..

Romansa Tak Terduga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang