7. Robusta dan Kehidupan

1.5K 136 26
                                        

Semesta, jika aku tidak boleh memiliki hatinya. Maka izinkan aku menjaga raganya. Setidaknya jadikan itu hal terakhir untukku membahagiakannya.

-Chicko Giovanny Leonidas-

Perasaan bahagia masih menyelimuti hati Cia, hingga senyum tidak beranjak dari wajahnya. Senja hari ini indah. Atau mungkin jauh lebih indah karena ia menyaksikan senja bersama Ciko, entah lah. Yang pasti hatinya senang.

"Halo Coki, udah makan belom? Uuu tayang, laper ya? Yuuk makan yuuk!" ajak Cia pada Coki. Kebiasaan kucing kesayangannya satu itu memang selalu menyambut Cia di depan pintu rumah kalau baru pulang. Mengeong sambil memutari kaki Cia. Dan kebiasaan gadis itu meladeni Coki ya dengan mengajaknya bicara seolah Coki bisa menyahut.

"Sini, pusss..." Cia berjalan menuju dapur. Tapi di sana ia justru bertemu Guntur—ayahnya. Pelangi senja yang sedari tadi membuat riang hatinya berubah mendung. Tenggorokannya mengering seketika.

Sejak kapan Guntur ada di rumahnya? Mengapa juga laki-laki itu datang di saat seperti ini. Di saat suasana hatinya sedang sangat bagus.

Bibir Cia terkatup rapat. Ia ingin bertanya tapi tak ada suara apa pun yang keluar. Ditambah pula tatapan dingin ayahnya itu. Tatapan yang seolah tidak melihat keberadaannya di sini. Keduanya hanya berdiam diri dengan mata menatap satu sama lain. Keheningan lama tercipta sampai mbah Uti tiba-tiba datang.

"Cia, udah pulang, nak?" sapa Mbah Uti. Tangannya mengusap pundak Cia.

Cia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk sebentar lalu menatap sekilas ayahnya lagi.

"Kalo gitu saya pergi dulu," katanya dingin. Sangat dingin. Sampai-sampai rasa dingin dari suara itu menusuk jantungnya.

Untuk apa datang kalau hanya untuk pergi lagi?

Begitu kalimat yang terputar di kepala Cia. Laki-laki itu bahkan tidak menyapa Cia. Anak itu seolah tidak nampak di bola mata hitamnya itu. Cia berdengus.

"Permisi," ucapnya lalu benar-benar pergi dari sana.

Suara gemeretak dari gigi Cia muncul begitu pintu rumahnya tertutup. Kesal. Rasanya kesal sekali tiap melihat orang itu datang dan pergi seenaknya.

Mbah Uti merogoh sesuatu dari saku daster panjangnya yang hari ini bermotif bunga-bunga. "Ini dari Papa kamu," ucap mbah Uti jelas.

Bukan mengambil amplop yang Cia tebak isinya duit itu, Cia justru malah keluar rumah. Berjalan sangat cepat dan membanting pintu.

Ia perlu menenangkan diri.

***

Di rumah, baru saja selesai mandi, Ciko menggosok-gosok kepalanya yang basah dengan handuk. Suasana hatinya tidak keruan. Antara senang tapi juga sedih. Senang karena lagi-lagi hari ini ia menghabiskan waktu dengan Cia. Sedih karena, ah sudah lah. Ciko bahkan enggan memikirkannya.

Ponselnya berdering menyanyikan lagu Alex dan Sierra yang berjudul Little Do You Know.  Ciko menggosok tangannya dulu dengan handuk lalu meraih ponsel yang terletak di atas meja belajarnya. Nama Cia yang ada di sana.

"Halo, Ci, ada apa?" tanya Ciko. Mengapit ponselnya dengan bahu dan pipi. Tangannya sibuk meraih celana dan kaos untuk dikenakan.

Realize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang