3

2.6K 441 27
                                    

-00-

The Last Train

BTS Fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

Minyoon.

-00-

Pagi tadi Jimin telah bercerita panjang lebar pada Taehyung soal pertemuannya dengan Yoongi, dan bagaimana Yoongi itu. Meski sempat dicibir karena menyukai yang lebih tua, Jimin tidak peduli. Toh Taehyung baginya hanya tempat bercerita, bukan tempat meminta saran. Taehyung kawannya, bukan konsultan jodoh. Jadi pedapat Taehyung tentang Yoongi, apapun itu, tak terlalu Jimin acuhkan.

Malam ini, dengan sengaja Jimin ikut pulang bersama Taehyung ke rumahnya meski tidak ada tugas yang harus mereka kerjakan. Jimin secara gamblang menyatakan kalau ia ingin bertemu Yoongi lagi di stasiun nanti. Jam 11. Itu alasannya. Taehyung hanya bisa pasrah menerima kunjungan dari laki-laki yang tengah kasmaran itu. Biarlah.

"Bagaimana caranya supaya aku tidak ketiduran lagi di kereta? Itu sangat menyiksa, Tae." Jimin meminta saran dengan putus asa.

"Kalau kau mulai merasa ngantuk, tampar pipimu sendiri seperti ini."

Plak!

"Tae! Astaga kenapa kau menamparku?!" bentak Jimin terkejut. Ia meringis sambil memegangi pipinya yang perih habis ditampar Taehyung.

"Itu hanya contoh. Lakukan seperti itu. Plaak! Begitu. Aku yakin kau tidak akan ngantuk lagi bahkan sampai di rumah." ujar Taehyung santai. Rasa-rasanya ia tak bersalah hingga tamparan itu dianggapnya biasa saja. Hanya sekadar contoh.

"Kau gila, apa? Aku tidak mau menampar diri sendiri, konyol sekali." cibir Jimin tak suka.

"Kalau begitu aku tidak punya saran lain." Taehyung mengangkat bahu. "Apa harus kau menunggunya di stasiun? Maksudku, kalian tidak saling berjanji untuk bertemu di sana 'kan?"

"Dia pulang kerja mendekati jam 11, kami pasti bertemu di sana tanpa harus membuat janji." ucap Jimin yakin. Ya, kalau Yoongi memang naik kereta terakhir sepulang kerja, berarti memang sekitar jam sebelaslah mereka akan bertemu di sana. Kalau ia tiba sedikit lebih awal, mungkin ia bisa menunggu Yoongi untuk mengajaknya pulang bersama. Begitu pikir Jimin.

"Kenapa harus di stasiun? Kenapa tidak menjemputnya saja di kantornya kalau kau memang—yah, ingin mencari muka di depan orang yang kau sukai?" Jimin digoda dengan cengiran lebar itu. Taehyung menunjuk-nunjuk wajah Jimin yang tersipu. Ya. betul juga. Harusnya Jimin menjemput Yoongi ke kantornya. Bukannya malah menunggu di stasiun. Kemungkinan mereka bertemu lebih besar kalau ia menemui Yoongi langsung di kantornya. Tapi... ia baru ingat akan sesuatu yang ia lewatkan.

"Tae, aku bahkan lupa untuk bertanya di mana ia bekerja." aku Jimin separuh menyesal. Jimin yang polos inilah yang kadang-kadang membuat Taehyung ingin memadikannya dengan air soda.

"Ah, Jim, kenapa kau tidak bertanya?" Taehyung menetak gelas susu setengah kosongnya ke permukaan meja. Geram.Ia minum susu itu hingga tandas. "Harusnya kau tanya dia dengan spesifik, berapa umurnya, di mana rumahnya, di mana kantornya, nomor ponselnya, dia sudah punya pacar atau belum—"

"Tae, Tae, tunggu. Semua yang kau sebutkan bahkan tak pernah kutanyakan padanya."

"Serius?!"

"Iya." Jimin mengagguk bodoh. Ia merasa bodoh memang. "Tapi kalau aku bertanya seperti itu dia akan mengumpat padaku dan bilang 'Yah! Memangnya ini wawancara kerja apa?! Kenapa pertanyaanmu banyak sekali?!' begitu."

Jimin berucap sambil memeragakan Yoongi yang menyemprotnya dengan modal ingatan akan tangan Yoongi yang menunjuk-nunjuk wajahnya dengan arogan kemarin. Taehyung mengangguk dan menggosok hidungnya.

The Last Train [Minyoon ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang