12

1.7K 358 6
                                    


-00-

The Last Train

BTS Fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

Minyoon.

Warning: alur kembali ke semula

-00-

Jimin tak ingat apa yang telah ia lakukan sebelumnya hingga ia berlari terburu menerjang hujan menuju stasiun. Tubuhnya basah kuyup tanpa meninggalkan kering yang bersisa. Sepatunya penuh air, memijak menimbulkan suara becek tak nyaman. Genangan air di jalan berkecipakan terinjak-injak. Napasnya yang putus-putus ia abaikan. Ia tak mengerti mengapa dirinya begitu menggugu mengejar kereta terakhir itu, padahal bisa saja ia menginap di rumah Taehyung dan pulang esok paginya, bukan?

Ia hanya terus berlari, bahkan memasuki stasiun masih dengan tergesa. Air yang menetes dari ujung-ujung pakaian dan rambutnya membuat jejak di sepanjang jalan yang dilewati. Jimin menyeret kakinya yang mulai terasa kebas diserang dingin malam berhujan. Terdengar peringatan tanda kereta akan berangkat.

Dari kejauhan terlihat seseorang berdiri menghadap pintu di dalam gerbong kosong itu. Jimin tahu siapa dia, dan ia tahu ia harus menggapainya.

Tolong, cegah kereta itu pergi.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi.

Dia masih berdiri di sana, Jimin melihat seulas senyum dilemparkannya. Begitu teduh. Beberapa milisekon dibacalah gerak bibirnya. Namun dengan cepat pintu itu tertutup, dan kereta melaju meninggalkan Jimin.

Ia hanya bisa melihatnya dalam sesal.

Dadanya sesak. Semakin sesak dan semuanya menghitam.

.

"Akh!"

Gemuruh di luar sana membangunkannya. Mimpi itu terasa nyata dan menyakitkan. Dadanya sakit. Ia bernapas pendek persis seperti orang habis berlari.

Yang tak beres dari dirinya itu harus diselesaikan. Satu-satunya jawaban adalah Min Yoongi.

Tanpa memikirkan hujan dan waktu, Jimin keluar dari apartemen. Ia kira waktu bergerak lamban seperti awan jenuh di langit, namun ia salah. Sebab ketika ia lihat jam digital besar yang terpampang di koridor stasiun, sudah hampir tengah malam. Ia menyesal, mengapa tak bisa menarik-ulur waktu agar bisa mengejarnya. Kereta terakhir menuju stasiun yang ingin ia tuju sudah tidak beroperasi. Cara lain yang harus ditempuhnya adalah melewati jalur lain, lebih jauh dan lebih lama. Tapi apa daya? Ia hanya bisa naik kereta yang transit empat kali di stasiun lain itu dengan membawa perasaan gundah yang makin menjadi. Ia hanya berharap waktu masih berbaik hati. Ia hanya berharap penyembuh dari perasaan yang depresif ini dapat ditemuinya. Ia hanya berharap Min Yoongi ada di sana, di stasiun itu.

Kumohon, jangan jadikan mimpiku nyata. Batinnya.

...

Yang menerangi stasiun itu hanya lampu dari tiang-tiang di sisian peron. Selebihnya padam. Berkas cahaya dari lampu-lampu kekuningan itu tak sampai pada koridor, hanya berpusat pada peron dan rel yang nampak berkilap habis diguyur gerimis. Tak ada siapapun di stasiun itu. Dua kereta yang teronggok saling berdampingan pun hanya membisu. Jimin masih duduk di sana, di sebuah bangku. Membiarkan tubuhnya digerogoti dingin malam. Napasnya mewarnai udara serupa hembusan putih. Ia menengadah pada langit yang kosong. Mencari bulan yang tak nampak karena mendung. Ia memejamkan matanya sejenak, berandai jika saja bulan itu akan nampak kemudian.

Sebutlah ia menunggu. Ya, berharap dan menunggu.

Karena rembulan itu benar-benar ia rindukan.

"Park Jimin."

The Last Train [Minyoon ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang