SEMBILAN

100 15 5
                                    

Angin tak pernah berhenti meneriakkan namamu
Tapi ... bahkan sampai sekarang kau tak pernah tau
Bagaimana aku mencintaimu itu hanya sebuah rahasia kecil
Ada yang lebih dibanding semua itu
Ka--

"Shil!" teriak seorang pemuda yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

Dengan cepat Sheila menutup diary-nya dan menyimpannya di antara tumpukan buku-buku pelajaran. Gadis itu berbalik, lengkap dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Pemuda di hadapannya ikut tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Sheila, seperti yang sudah-sudah.

"Ada apa Kak?" tanyanya.

"Siap-siap yuk! Bawa baju ganti buat tiga hari ya!" ujar Dino tiba-tiba.

Sheila berkedip beberapa kali. Dan hal itu tak luput dari perhatian pemuda itu.

"Gue mau ngajak lo ke Jogja."

Gadis itu hanya diam tanpa menanggapi kalimat Dino. Apa dia salah dengar? Pergi ke Jogja bersama Dino?

Dino memutar bola matanya kemudian melangkah ke arah walk-in closet yang ada di kamar itu. Pemuda itu menarik sebuah koper kemudian berdiri di bagian tengah. Matanya meneliti setiap pakaian di sana, hingga akhirnya ia membuka sebuah lemari berukuran sedang di sudut.

Sheila membulatkan matanya, kemudian berlari ke arah kakaknya yang saat ini tengah memasukkan beberapa potong baju.

"Eh, Kak Dino mau ngapain baju-baju aku?" tanyanya panik.

Dino hanya melirik sekilas sebelum kembali memulai kegiatannya yang tertunda.

"Kita mau liburan," katanya acuh.

Refleks, tangan Sheila menghentikannya. Dino menatap Sheila dengan pandangan bertanya-tanya. Tapi tak lama setelahnya, gadis itu justru menampilkan senyum bahagianya kemudian mengambil alih kegiatan Dino.

***

Pukul 5 sore mereka sampai di bandara Adi Sucipto. Dino menyeret kopernya dan milik Sheila sekaligus. Dia berjalan keluar lebih dulu bersama Sheila di sampingnya. Sementara Romeo dan teman-temannya yang lain mengikutinya.

Mata coklat Dino meneliti setiap sudut bandara. Jujur saja dia lupa bagaimana wajah sahabat lama ibunya yang kali ini akan menjemput mereka. Mungkin terhitung sejak pernikahan kedua orangtuanya. Berarti dua belas tahun sudah berlalu. Ingatannya seolah beku akan semua itu. Ia melupakan banyak hal.

Tiba-tiba, pemuda itu merasakan tepukan di bahunya. Dino menoleh cepat. Di sana, berdiri seorang pria yang ia kira seumuran orangtuanya tersenyum hangat padanya.

"Dino!" ucap pria itu.

"Om Gibran?" tanyanya.

Laki-laki itu mengangguk kemudian memeluk tubuh Dino.

Laki-laki itu, Gibran, menatapnya bahagia. "Kamu tampan sekali ya sekarang," pujinya.

Dino tersenyum. "Om Gi juga masih keliatan muda kok."

Gibran tertawa. "Kamu nggak pernah berubah ya dari dulu. Suka banget nyindir Om."

"Aku nggak boong Om. Beneran deh."

Gibran tersenyum hangat sebelum matanya beralih pada gadis di samping Dino. "Ini Sheila ya?"

Sheila sedikit terkejut sebelum tersenyum hangat pada laki-laki itu. "Iya, Om."

"Ya sudah, kita lanjut di rumah aja, yuk! Kalian pasti capek, 'kan?"

Gibran membimbing mereka untuk sampai ke mobil yang ia bawa. Diikuti Dino yang sebelumnya memberi aba-aba untuk ikut.

"Oh ya, gimana kabar keluarga, Din?" tanya Gibran ketika mobil mereka mulai melaju.

"Mereka semua baik kok, Om."

Gibran mengangguk-anggukkan kepalanya. "Omong-omong, si cantik nggak ikut ke sini?"

Dino mengernyit bingung, "Siapa, Om?"

"Ah, maksud Om itu Chrisa. Dia nggak ikut?"

"Oh Chrisa ... besok mungkin dia nyusul. Ya Om tau sendiri lah, sibuk pemotretan."

Gibran melempar senyum khasnya. "Ya ... Om tau. Chrisa suka semua itu. Yah ... walaupun kadang Om suka bingung ke mana perginya sifat pemalunya waktu masih kecil. She's totally changed, right?"

Dino mengangguk, ia menyetujui pemikiran Gibran tersebut. Dia sendiri kehilangan banyak informasi tentang kembarannya tersebut. Dan ia menyesal. Apalagi mengingat penyebab sedikit ketidaksamaan mereka hanyalah satu hal kecil.

Perjalanan mereka kali itu diliputi canda tawa akibat ulah Gilang dan Okta. Hingga satu jam kemudian mereka sampai di Mandala Resort & Hotel.

Dino mengamati tulisan itu cukup lama. Perasaan rindu yang tersimpan rapi di hatinya kini seolah berdesakan untuk keluar. Dia ingat saat pertama kali datang ke tempat ini.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah berdinding kaca dan marmer. Welcome home, Dad. Bisik Dino.

Dino turun lebih dulu. Mata coklatnya tampak redup mengamati rumah itu. Tanpa perlu meminta izin, pemuda itu membuka pintu. Ia melihat sebuah keluarga. Keluarga yang bahagia. Sepasang suami-istri beserta anak kembar mereka.

"Dino!" teriak seorang wanita dari rumah sebelah.

Wanita itu berjalan sedikit tergesa ke arahnya, dari wajahnya ... Dino bisa menebak bahwa itu adalah Inara, istri Gibran.

"Welcome home, Deano Oliver!" pekiknya sambil memeluk tubuh Dino.

Pemuda itu tersenyum kemudian mencium tangan Inara.

"Hai, Tan! Apa kabarnya?"

"Tante baik. Kamu apa kabar? Lama kamu nggak main ke sini lho!"

"Aku juga baik, Tan. Maaf," sesal Dino.

Inara tersenyum hangat sebelum mempersilakan mereka untuk beristirahat.

Karna mereka datang berenam, jadi ... kamar mereka dibagi menjadi tiga. Dino dengan Romeo. Gilang dengan Okta. Sedangkan Sheila dengan Kinan, pacar Gilang.

Masing-masing dari mereka sudah masuk sambil menenteng koper mereka. Termasuk Sheila. Tapi kemudian gadis itu mengurungkan niatnya lantaran melihat sang kakak mematung sambil mengamati rumah itu.

Mata Sheila berkeliling. Dalam hatinya ia berharap bisa melihat dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh Dino. Tapi dia harus cukup puas dengan melihat sedikit cerita tentang masa lalu kakaknya itu.  Cerita yang mungkin tidak bisa Sheila bayangkan bahagia dan sedihnya.

"Gue masih inget semuanya, Shil," lirih Dino dengan sinar mata redup.


Hai! Sorry for late post. Gue banyak mikir buat post bagian ini. So ... ini hasil rombakan gue. Semoga suka :)

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang