EMPAT BELAS

81 13 7
                                    

Sheila POV

Di mimpiku, yang selalu kutemukan adalah dia. Seperti malam ini ... aku akan mengingatnya. Dia yang saat ini ada di sampingku dan menggenggam tanganku erat. Meski hanya seulas senyum yang tak pernah bisa kuartikan.

"Shil ...," panggilnya sambil menatapku, "buat satu harapan sebelum pulang."

Aku tersenyum ke arahnya. Aku pernah berharap pada bintang untuk sesuatu yang sampai saat ini tak pernah berhasil kugapai, tapi saat ini ... harapanku satu. Yaitu memiliki pemuda bernama Deano Oliver sebagai tempatku bersandar. Apa bisa?

Tepat pukul 19.30, kami meninggalkan Bukit Bintang. Dan mungkin, ini juga akhir dari kebersamaan kami sebagai orang lain.

Kak Dino mengizinkanku mengendarai mobil malam itu. Meski hanya sebentar karna pada akhirnya dialah yang membawa kami sampai resort, dan juga membawaku sampai kamar. Aku cukup bersyukur, bersyukur bahwa dia mempercayaiku.

Ini adalah hari terakhir kami ada di Jogja. Aku kembali tidur saat Kak Chrisa akhirnya menyerah untuk menyeretku ke pantai. Aku ingin melanjutkan mimpi indahku. Di mana ada aku dan dia seorang.

Itu bukan yang pertama. Tapi entah mengapa, mimpiku kali ini adalah yang teristimewa. Memang. Karna aku baru saja mengalami kejadian seperti mimpi itu barusan.

Mimpi itu semakin nyata dan terjadi setiap hari. Bahkan setelah kami kembali ke Jakarta dan mulai masuk sekolah. Jangan tanya apa yang terjadi setelahnya atau bagaimana kelanjutannya. Karna sampai saat ini ... aku bahkan tidak tahu jenis hubungan apa yang aku dan Kak Dino punya.

Aku tidak pernah mempermasalahkannya. Juga marah padanya.

Tiba-tiba kurasakan ponselku bergetar.

From : Kak Chrisa
Shil, maaf, hari ini kita nggak bisa balik bareng. Kata Pak Yando mobilnya mogok, mama sama papa juga lagi nggak di rumah. Lo bareng Dino aja ya! Gue udah bilang dia tadi.

To : Kak Chrisa
Terus Kakak baliknya gimana?

From : Kak Chrisa
Lo tenang aja, ada pangeran tampan yang bakal nganterin gue balik kok :)

Aku tersenyum geli. Tak lama kemudian, kumelihat Dino melambai ke mari dan sedikit berlari kecil.

"Oh my gosh! Kak Dino keren banget, Sheila!" ujar Tania yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Mata besarnya berbinar, seolah dia baru saja melihat permata berharga jutaan rupiah.

Kadang, aku sempat berpikir, apa aku pantas jika suatu saat bersanding dengannya. Dia terlalu sempurna untukku, dia berasal dari keturunan yang jelas. Tidak seperti aku.

Aku memperhatikan lagi penampilanku dan membandingkannya dengan Tania. Seketika aku tersenyum kecut, aku jauh dari kata cantik, apalagi modis.

Tiba-tiba kurasakan usapan pelan di puncak kepalaku. Aku mendongak, dan mendapati mata coklat terang yang selalu kusuka menatapku dengan ... kebahagiaan? Entahlah, aku hanya takut mengartikannya.

"Pulang yuk, Shil!" ajaknya masih dengan senyuman khasnya.

Aku hanya mengangguk menanggapi. Kulihat Kak Dino mengalihkan tatapannya pada Tania, dan lagi-lagi lengkap dengan senyum yang selalu kudapat.

"Sheila gue bawa balik dulu ya," ungkap Kak Dino yang dibalas anggukan antusias Tania. Aku tersenyum kecut.

Kami berjalan di sepanjang koridor menuju tempat parkir. Dan kau tahu? Sejak tadi dia merangkulku, sedang dia menebar senyum untuk setiap orang yang ia temui. Termasuk para gadis itu. Aku hanya diam. Sampai akhirnya sesekali Kak Dino mengajakku bicara. Entah hanya membahas tentang cuaca, kegiatannya seharian ini, sampai teman-temannya. Tanpa membahas hubungan kami yang entah akan seperti apa jadinya.

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang