DUA PULUH DELAPAN

68 9 1
                                    

"Sa."

Chrisa terbangun ketika seseorang mengelus puncak kepalanya. Tangan itu tampak lemah dengan selang infus tertancap di sana. Gadis itu terkesiap. Ditatapnya mata penuh kehangatan milik saudara kembarnya itu dalam-dalam.

Dia bahagia.

"Jangan kemana-mana, Sa, gue butuh elo di sini. Sebentar aja."

Gadis itu menurut. Dia menegakkan tubuhnya sementara Dino menautkan kedua tangan mereka.

"Jangan tinggalin gue, Din," katanya dengan suara serak.

Pemuda itu tersenyum lemah dan mengangguk. "Sa, di dunia ini, mana yang lebih lo takutin, liat orang yang lo sayang menderita atau berkorban supaya mereka bahagia?"

Tatapan Chrisa meredup. Ia menempelkan tangan Dino di pipinya hati-hati, seolah takut, jika dia kasar sedikit saja bisa membuat pemuda di hadapannya pergi. "Gue bakal berkorban agar keluarga kita juga bisa bahagia. Itu artinya juga elo, Din."

Tak lama kemudian, keningnya berkerut saat dilihatnya Dino tampak sedih. Sinar matanya meredup. Dan itu membuat Chrisa khawatir. Dia tahu sesuatu telah terjadi pada hati pemuda itu. Dia yakin.

"Kalo misal gue sembuh, lo mau janji sesuatu sama gue, Sa?"

Hati Chrisa mencelos. Tapi perlahan, kepalanya mengangguk pelan. "Sure."

"Nggak jauh dari resort, Dad pernah buat pondok kecil. Waktu gue ngilang, gue pergi ke sana sendirian. Dan, gue berharap bisa ke sana lagi, Sa," katanya dengan setetes air mata, "Dad ngasih tau kita apa yang terjadi di masa lalu. Tentang Mom, tentang Papa, juga keluarga kita."

Mata coklat madu itu semakin menunjukkan kesedihan yang cukup dalam. Chrisa tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan masa lalu mereka. Ia kira semuanya baik-baik saja. Tapi, melihat sorot itu, gadis itu tahu sesuatu telah terjadi.

Tapi tak lama kemudian, Dino kembali tersenyum. "Sa, gue mau tidur, tapi gue mau lo tetep pegang tangan gue ya? Jangan ninggalin gue sendiri," pintanya.

Chrisa menyanggupinya. Digenggamnya tangan Dino cukup kuat tapi tidak terlalu kencang. Sementara satu tangannya mengelus rambut Dino kemudian turun ke lengannya.

Tak lama setelah itu Dino kembali tertidur. Napasnya tampak teratur. Wajah itu tampak damai. Dan juga ikhlas. Dino bahagia.

***

Dua pemuda di ruangan itu saling berdiam diri. Satu pemuda berbaring di atas sebuah ranjang dengan wajah kusut, dan satu pemuda lainnya duduk di sampingnya. Bau obat-obatan menyeruak setiap kali mereka menghirup udara dan menyalurkannya ke dalam paru-paru.

Sudah setengah jam lebih dari saat pertama Romeo masuk ke kamar rawat Dino. Ia hanya mengucapkan kata hai sebelum terdiam cukup lama. Pemuda itu tidak tahu harus mengatakan apa. Niat awalnya hanya ingin melihat sang sahabat dan memberinya ucapan selamat berjuang. Namun, Dino sepertinya enggan berbasa-basi. Ia lebih memilih memejamkan matanya meskipun gagal.

"Lo mau ngomong apa?" tanya pemuda bernetra coklat madu tersebut lrih.

Romeo menengadah, menilik sang sahabat yang menatapnya dengan pandangan sayu.

"Gimana keadaan Sheila?" tanyanya lagi.

Romeo terdiam, sebelum gendang telinganya kembali mendengar Dino berkata, "Gue tau, Rom, dunianya gelap sekarang."

Romeo menengadah, menatap raut wajah pemuda di hadapannya yang seputih kapas. "Keadaan lo lebih penting sekarang, Din." Bibirnya terasa kering setelahnya. Dia ingin memberitahu Dino keadaan Sheila yang sebenarnya. Tapi dia tidak sanggup. Dino akan menjalani operasinya besok, pemuda itu tidak boleh banyak pikiran saat ini. Tidak sampai ia tahu pemuda itu dinyatakan sembuh oleh dokter.

"Besok ... lo dateng kan?" Dino menatap Romeo penuh harap. Dia ingin pemuda itu berkata, tentu saja, meskipun yang ia dapat hanya sebuah anggukan singkat.

"Gue harap ... gue punya kesempatan lagi setelah ini. Seenggaknya sampai gue liat Chrisa dan Sheila baikan dan ... bahagia."

Pemuda itu menahan napasnya lama, sebelum kembali menghembuskannya perlahan. Ada ketakutan di sana, Romeo dapat merasakannya dengan jelas. Dino seolah telah menyerah dengan keadaan saat ini.

Romeo tidak ingin Dino menyerah. Dia juga tidak mau pemuda itu pergi secepat ini. Romeo tahu diri, dia punya janji yang harus ditepati. Dan sampai saat ini, janji itu justru tak kunjung berhasil ia berikan pada sang sahabat. Sedang Dino ... dia sudah mengorbankan semuanya demi keluarga Romeo.

"Gue bakal pastiin lo selamat."

Bibir Dino terangkat sedikit. "Lo bukan dokter ataupun Tuhan, Romeo. Lo cuma cowok songong nggak berperasaan yang sialnya adalah sahabat baik gue."

Dibalik wajah datar itu, hati Romeo teriris. Dia telah mengecewakannya. Meskipun mereka juga tahu, bahwa Dino tidak pernah mengatakan apa yang tengah direncanakannya saat ini. Pemuda itu memilih menyimpan semuanya sendiri.

"Sorry," gumam Dino.

"Buat apa?"

Pemuda itu tersenyum tipis. "Anggep aja buat semua pemaksaan dan permintaan aneh yang gue ajuin ke elo."

"Sorry," ucap Romeo kali ini.

"For what?"

"Karna gue nggak jujur tentang diri gue selama ini. Dan karna ... lo tau apa yang gue maksud," ujarnya sembari melirik foto yang terletak di atas nakas.

Meneguk salivanya sendiri, Dino tidak tahu harus berkomentar apa. Harusnya ia marah, tapi, ada satu hal yang membuatnya tidak lagi kesal. Ia justru bersyukur.

"Semua bakal indah pada waktunya. Dan gue rasa, ini giliran elo bahagia, Rom."

Romeo menatapnya tidak mengerti. Tapi sebelum dia tahu jawabannya, suara seseorang yang ia kenal menginterupsi. Disusul sebuah kecupan singkat di pipi kanannya.

"Jangan deket-deket," tutur Romeo sembari mendorong wajah Gilang yang berada tak jauh dari kepalanya.

"Loh, kenapa? Bukannya elo suka gue deketin? Kita sama-sama jomblo," sahut pemuda berwajah persegi tersebut.

"Najis."

Dino dan Okta terkekeh geli.

Untuk kedua kalinya, Dino berhasil meraih kebahagiaanya. Dia punya alasan yang bisa membuatnya bertahan lebih lama. Tapi kadang, sebuah alasan saja tidak cukup untuk membuatnya melawan takdir.

Maka, jika esok ia tidak bisa kembali membuka matanya, ia telah puas merasakan kebahagiaan. Meskipun seseorang yang selalu ia harapkan tidak ada di sampingnya saat ini. Keluarga dan sahabat sudah cukup untuk mengembalikan senyum yang besok hanyalah sebuah kenangan manis.

***

Romeo setengah berlari dari lobby melewati lorong-lorong rumah sakit. Ia tidak memperdulikan lagi umpatan beberapa orang yang tanpa sengaja ia tabrak. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah sampai ke ruang operasi secepat yang ia bisa.

Ia tahu, sekali lagi ia tidak menepati janjinya untuk datang ketika Dino melaksanakan operasinya. Tidak ada waktu yang tersisa untuknya membujuk Dino. Tidak. Tidak ada.

Pemuda itu berjalan pelan ke depan pintu besi yang terbuka di mana tubuh seseorang yang dikenalnya terbujur kaku dengan wajah pucat pasi. Di sekelilingnya, orang-orang berkumpul dan saling berpelukan. Sementara seorang gadis memeluk tubuh itu dengan isakan yang menyayat hatinya.

Selesai sudah.

Romeo terpaku sejenak. Di genggamannya ada sepucuk surat yang kemarin Dino berikan padanya. Sebuah surat yang mungkin bisa menghancurkan perasaan Chrisa lebih dari sebelumnya. Tapi, dia harus melakukannya.

Maka, dengan sisa keyakinan yang Dino berikan padanya, Romeo menghampiri Miko dan mengatakan padanya bahwa ada pesan yang harus dibaca.

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang