DELAPAN BELAS

66 9 1
                                    

"Ma ...," panggil Dino yang kini sudah memeluk tubuh Clara dari samping.

"Apa, Kak?"

"Kita kapan ke London lagi? Lusa peringatan kematian Dad 'kan? Apa Mama nggak mau ke sana? Nengok Dad gitu?"

Tubuh Clara membeku. Semilir angin di halaman belakang rumah mereka tampak menari-nari, membawa jiwanya menjauh. Ingatannya menguat, kembali ke masa mudanya. Di saat dirinya menjadi segalanya. Dan juga di saat ia kehilangan banyak hal.

Ia merindukan aroma musim gugur yang mengingatkannya akan kue pie atau manusia salju di halaman rumahnya dulu. Tidak akan semudah kelihatannya. Namun, ia punya tanggung jawab sekarang. Dan masa lalu tidak mungkin kembali ia selami sekali lagi.

"Kita nggak bisa pergi, Dino, kamu kan lagi sakit," jelas Miko yang sedari tadi hanya duduk sambil membaca koran hariannya.

Pelukan Dino mengendur. Wajah tampannya tampak kecewa. "Aku baik-baik aja kok."

Tersadar dari lamunannya, wanita itu merangkum wajah putra pertamanya dengan perasaan sendu. "Jangan maksain diri kamu, Din, Mama sama Papa takut kamu kesehatan kamu drop nantinya."

Dino menoleh cepat. "Mama tuh apa-apaan sih? Aku tuh baik-baik aja, Ma, aku baik."

"Dino!" tegur Miko keras.

Wajah pemuda itu memanas. "Kenapa? Papa nggak usah khawatir aku bakal repotin Papa nantinya. Aku bisa jaga diri aku sendiri, bahkan jaga Sheila—"

"Kalau kamu bisa jaga Sheila, kenapa kamu nggak jaga kesehatan diri kamu sendiri? Kamu itu sakit Dino, ingat kesehatan kamu bisa menurun kapan saja!"

Dino menatap ayahnya tidak percaya. Dia mendengus sebal. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum sinis yang kentara.

"Lalu apa peduli Papa? Dulu saat Lavi lahir, apa Papa inget apa yang Papa lakuin? Sama Lavi? Sama Mama? Papa inget nggak?"

"Dino cukup!" teriak Clara kencang. Kristal bening mulai berjatuhan dari pelupuk matanya. "Itu masa lalu. Dan kamu nggak seharusnya inget sama apa yang udah berlalu," lanjutnya.

Dino tertawa getir. "Jadi gitu? Itu sebabnya kenapa Mama nggak cinta sama Daddy? Itu sebabnya kenapa Mama balik lagi sama Papa? Dan itu sebabnya kenapa Mama nggak pernah pergi ke makam Daddy?"

Bisa ia rasakan tatapan tajam ayah tirinya mengarah padanya, dan mungkin berharap bisa membuat Dino menarik kata-katanya. Tapi tidak. Apa mereka pikir dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Pada masa lalunya? Pada masa yang diam-diam membuat hatinya terkunci?

Dino tahu semuanya. Kecelakaan itu. Kisah cinta mereka. Kisah yang berusaha ditutupi. Sampai kebohongan yang diam-diam direncanakan secara matang. Dia tahu segalanya. Dia telah menyelam hingga palung terdalam sekalipun.

Terlalu banyak rintangan. Banyak perbedaan. Banyak misteri yang menunggu untuk ditemukan. Dino bahkan masih berbaik hati tidak memberitahukan rahasia ini pada orang lain, bahkan pada Chrisa sekalipun. Dia tahu diri, dia masih bisa merasakan kesedihan ibunya, juga merasakan cinta kedua orang tuanya sekarang. Cukup dia yang tahu dan membenci ayahnya, tapi jangan adik-adiknya, termasuk Chrisa.

Pemuda itu berlari ke kamarnya kemudian meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di atas nakas. Menghubungi seseorang secara tergesa, tangannya bergetar. "Chris, lo dimana? Bisa ketemu bentar?"

Dino melirik jam tangannya sekilas. "Tunggu jangan balik ke rumah dulu, gue jemput sekarang," putusnya kemudian menarik jaket dan kunci motornya.

Jalanan siang itu tidak terlalu padat. Di atas sana, awan bergumpal menjadi lebih tebal hingga berwarna abu-abu. Motor Dino melaju cepat, membelah jalanan ibu kota yang semakin lama semakin dipenuhi manusia yang mencoba peruntungannya.

Mata Dino tampak awas. Jarum jam ditangannya bergerak lambat, tapi cukup membuat jantungnya berpacu bersamaan dengan deru motor yang semakin kencang. Di kiri dan kanannya, bangunan pencakar langit menjulang semakin megah, mengukuhkan dirinya sebagai yang terhebat.

Roda di atas aspal itu berhenti di depan sebuah bangunan yang syarat akan seni tinggi. Dino meletakkan helm-nya di atas motor kemudian berjalan masuk ke dalam. Kembali ia melirik jam tangannya dan tercengang, dia hanya memerlukan waktu 20 menit untuk sampai di studio tempat Chrisa melakukan pemotretan.

Dino melangkahkan kakinya penuh kepercayaan diri. Dia bahkan tidak peduli jika sejak tadi banyak mata mengawasi dirinya. Pemuda itu terlalu mempesona untuk diabaikan. Bahkan dengan rambut acak-acakan yang terpotong rapi sekalipun.

Beberapa orang yang ia kenal sebagai manager dan fotografer di tempat itu mencoba menarik perhatiannya.

"So sorry Mr. Jimmy, I just wanna pick her up," katanya sambil melirik ke arah saudara kembarnya yang kembali beraksi di depan kamera.

"Ouh, kupikir kau sudah berubah pikiran, Deano. Padahal, kami sedang butuh seseorang untuk menggantikan Luis hari ini," ujar Mr. Jimmy yang hanya dibalas senyum kecut Dino.

Memang dulu, Dino pernah ditawari untuk menjadi salah satu model di agency yang sama dengan Chrisa, tapi dia menolak. Baginya menghabiskan waktu untuk melihat bintang bersama Sheila jauh lebih menyenangkan dari apapun juga. Bahkan untuk menghabiskan waktu bersama saudara kembarnya sekalipun.

Tak lama setelahnya, Mr. Jimmy pamit undur diri. Pemuda itu duduk di salah satu love seat terdekat. Mata hazel-nya mengamati beragam properti yang memenuhi ruangan itu. Beberapa set sofa tampak memenuhi bagian belakang, dekat dengan semua alat perekam dan kamera beresolusi tinggi yang tersedia.

Agak jauh dari tempatnya, beberapa gadis dan pemuda untuk promotetan selanjutnya sedang bersiap-siap. Dino mengenal beberapa dari mereka. Salah satunya adalah temannya saat bersekolah di junior school dulu sebelum ia memutuskan bersekolah di SMA swasta biasa.

"Din," panggil seseorang.

Sofa yang tengah ia duduki bergoyang. Dino menoleh ke sampingnya, dimana seseorang yang sudah ia tunggu sejak tadi duduk sambil meluruskan kakinya yang terasa pegal. Gadis itu balas menatapnya sebelum memutuskan untuk merebahkan kepalanya di pundak Dino.

"Tumben banget lo mau jemput gue ke sini. Pasti ada maunya," tebak Chrisa yang seolah tidak peduli.

Bahu pemuda itu bergetar. "Lo emang saudara kembar gue yang paling pengertian deh, Sa."

Gadis itu berdecak kesal.

Hening memenuhi mereka. Hanya suara jepretan kamera yang saling bersahutan dan kilatan blitz yang menyilaukan mata yang ada di ruangan itu. Beberapa kali seorang fotografer berteriak ke arah modelnya, memberi instruksi tentang bagaimana mereka harus bergaya.

"Balik yuk, Din!" ajak Chrisa akhirnya sambil bangkit.

Dino mengekor gadis itu hingga ruang make-up. Menunggu Chrisa selesai membersihkan riasan di wajahnya serta berganti pakaian, ia membuka salah satu aplikasi messager yang sedang naik daun saat ini.

Iseng, dia mengirim sebuah chat yang hanya berisi stiker ke akun Sheila. Hingga tak lama kemudian terdengar bunyi ding yang menandakan ada pesan masuk. Cepat-cepat Dino membuka ponselnya dan tersenyum tatkala orang yang ia tunggu membalas dengan cepat.

Deano
Lagi ngapain Shil?

Sheila
Cuma duduk-duduk doang sambil baca buku astronomi yang waktu itu aku pinjem dr Kakak

Senyum Dino semakin merekah. Tangannya menari di atas keypad secepat mungkin.

Deano
Ketemuan yuk!

Jari-jari itu kembali menari hingga membentuk rangkaian kata di layar ponselnya. Tidak ada salahnya bermain sebentar, toh dia bisa mengingat-ingat lagi wajah Sheila yang sebenarnya sudah ia hapal di luar kepala.

Deano
Red Dream Caffe di Jl. Kemang Raya jam 4 sore :)

Pemuda itu menyimpan ponselnya di saku kemeja. Matahari sedang bersinar cerah di hatinya. Hanya tinggal tunggu waktu dan kita akan bersama. Pikirnya.


Maaf untuk keterlambatannya. Udah dari kemaren mau up tapi nggak bisa-bisa. Jadi mumpung wp lagi baik, so, gue up hari ini. Semoga suka :)

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang