TUJUH BELAS

65 10 0
                                    

Hari itu, SMA Cempaka heboh dengan berita kemunculan adik Ketua OSIS mereka. Bagaimana tidak, tadi pagi, Romeo datang bersama seorang gadis manis yang ia akui sebagai adik kandungnya. Berita itu semakin diperkuat dengan kedatangan ayah Romeo yang tengah mengurus surat-surat untuk anak gadisnya itu.

Dan yang lebih menghebohkan lagi adalah ... gadis itu adalah orang yang sama yang kemarin mereka kenal sebagai adik Dino, yaitu Sheila.

Sheila tersenyum manis. Gadis itu berjalan santai ke arah kantin bersama Tania. Dia tidak peduli meskipun mata satu sekolah menatapnya dengan pandangan terkejut.

Gadis itu berhenti sejenak. Matanya menatap salah satu meja kantin yang berisi kakaknya dan teman-temannya, termasuk Dino.

"Kenapa berhenti, Shil?"

Sheila menoleh ke asal suara. Kemudian kembali menatap lurus ke arah kantin. Dia menghela napas berat.

"Nggak. Nggak pa-pa. Ayo!" ajaknya sambil mengibaskan rambut sebahunya angkuh.

Berbeda dengan Sheila, Dino justru tengah bahagia. Ketiga temannya sampai dibuat bingung dengan sikapnya seharian itu. Yang membuat semakin aneh adalah saat pemuda itu justru menceritakan hal-hal konyol yang ia lakukan terhadap saudara kembarnya.

Romeo hanya diam sambil menggoyangkan kepalanya pelan. Dia benci cerita-cerita receh yang disampaikan sahabatnya itu. Apalagi saat Dino ikut menyebut-nyebut dirinya dalam kisahnya.

Pemuda itu memutuskan membuka instagram-nya dan menemukan foto seorang gadis cantik yang memenuhi hampir sebagian dindingnya. Romeo tersenyum sambil memperhatikan foto itu sekali lagi. Ternyata kayak gini ya yang namanya jatuh cinta? Tapi ... apa bener gue udah jatuh cinta sama elo? Batinnya bertanya.

"Woy, Rom!" teriak Dino tepat di telinganya.

Buru-buru Romeo menutup ponselnya kemudian memandang ketiga sahabatnya bingung. "Apa?"

Dino mendengus. "Kakak ipar macem apa yang nggak mau dengerin rencana calon adeknya sendiri," sindirnya.

Alis Romeo bertaut. "Kakak ipar?"

Gilang tertawa kencang. "Jangan-jangan Romeo nggak restuin hubungan lo sama Sheila, Din."

Segumpal tisu bekas melayang tepat di kening pemuda jawa itu.

"Sialan! Jorok banget lo, Din!"

"Suruh siapa lo ngetawain gue?" sungut Dino.

Romeo kembali memutar bola matanya. Dia tidak menyangka ketiga teman yang dulu ia anggap kalem itu berubah jadi tiga cowok urakan dengan sejuta pesona.

"Udah deh, lo ngomong apa tadi?" tanya Romeo memecah pertikaian kecil kedua temannya.

Senyum Dino terkembang. Ditangkupnya kedua tangannya di atas meja sambil menatap pemuda di hadapannya serius. "Jadi gini Rom, malem minggu ini, gue mo ngajak Sheila ng-date. Tapi gue butuh bantuan elo."

"Apa?" tanya Romeo lagi dengan alis terangkat satu.

"Lo bawa Sheila ke luar, terus anter dia ketemu sama gue di kafe Revasa jam 7 malem. Bisa kan?"

"Kenapa harus gue?"

"Karna Dino mau pura-pura cuek dulu sama adek baru lo itu." Kali ini gantian Okta yang menyahut.

Dino menyunggingkan sebuah senyuman. "Gimana menurut lo?"

"Terserah apa kata lo aja."

Hanya satu kalimat singkat itu yang bisa Romeo keluarkan. Entah mengapa ia tidak suka dengan ide gila sahabat terbaiknya kali ini.

Pemuda itu bangkit dari kursinya. "Gue mau ke ruang OSIS dulu. Kalian masih mau nongkrong di sini?"

Ketiga pemuda itu saling berpandangan sambil menatap sekitar. Tak lama mereka tersenyum misterius saat melihat seseorang duduk tak jauh dari jendela di belakang mereka.

Romeo cukup tahu apa jawabannya dan apa yang akan mereka lakukan. "Terserah kalian."

***

"Sheila?" panggil seorang pemuda sambil menepuk pundaknya pelan.

Gadis itu terlonjak kaget. Ditatapnya mata biru terang di hadapannya dengan seulas senyum kikuk.

Sheila baru saja selesai berbelanja bersama Tania dan teman-teman barunya ketika tubuhnya menabrak seorang gadis dari arah berlawanan.

***

Brakk ....

Sheila menutup pintu kamarnya keras-keras. Gadis itu sudah tidak memperdulikan lagi pandangan bertanya beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Bahkan tas-tas karton hasil perburuannya hari ini telah terlempar di sembarang arah hingga isinya berhamburan keluar.

Hatinya mendidih. Seolah kejadian kemarin tidak cukup untuk menguji kesabarannya, kini bertambah lagi satu fakta yang berusaha menginjak-injak harga dirinya.

Flashback

"Hai, Shil!" sapa seorang gadis cantik yang kini sudah menenteng beberapa tas karton dari brand-brand ternama.

"Kak Chrisa?" ucap Sheila terlebih pada dirinya sendiri.

"Lo sama siapa?" tanya Chrisa sambil melirik teman-teman baru Sheila.

Sheila berdeham sebentar. "Sama temen, Kak."

Gadis di hadapannya tampak mengangguk pelan. Mulutnya tampak bergerak, hendak mengatakan sesuatu, sebelum kembali tertutup rapat.

Sheila sebenarnya cukup terkejut melihatnya, Chrisa yang ia kenal sebelumnya adalah gadis yang akan dengan mudah mengatakan apapun yang tengah dipikirkan otaknya. Nalurinya selalu tepat di balik segala kesempurnaan yang gadis itu miliki. Jauh berbanding terbalik dengan Sheila.

"Lo ... kok bisa ketemu sama Davin di sini?"

Sheila mengernyit heran. "Ini kan tempat umum, Kak, siapa aja boleh ke sini kan? Aku sama Kak Davin kebetulan aja ketemu di sini, sama kayak Kak Chrisa," jelasnya.

Bibir Chrisa tampak melengkung. "Iya juga si. Hmm, tapi lo nggak ada hubungan apa-apa gitu sama dia?"

"Apa maksud pertanyaan Kakak?" selidiknya.

Chrisa tampak mengamati keadaan sekitarnya sebelum berkata, "Lo kan tau gue suka sama Davin, tapi ... dia nggak suka sama gue." Gadis itu membuang napas sebentar lalu melanjutkan, "Dia suka sama seseorang. Dan dia bilang, cewek itu deket sama gue, jadi you know lah .... Meskipun awalnya gue agak ragu si kalo dia suka sama elo, tapi ...." Chrisa melirik penampilan Sheila sekilas sambil menilai.

Flashback off

Demi apapun juga, Sheila merasa disambar petir saat itu. Dia tidak pernah menyangka orang yang selama ini ia hormati dan ia anggap kakak yang baik ternyata begitu mencurigai dan merendahkannya.

Gadis itu menangis frustrasi. Refleksi dirinya terlihat kacau. Baginya, dunia tidak pernah adil kepadanya.

Arrrgh ....

Dalam sekejap vas bunga di atas nakas berubah menjadi serpihan kecil di lantai. Tak ayal beberapa benda di dekatnya juga ikut jatuh berantakan.

"Gue janji bakal bales elo, Chris!" teriaknya menggema di ruangan tersebut.

***

"Pa, aku boeh minta soflen nggak?"

Arlan dan Romeo tiba-tiba menghentikan aktivitas makan mereka.

Pria berumur pertengahan empat puluh itu tersenyum sambil mengusap kepala putrinya lembut. "Boleh, apapun yang Sheila mau, Papa kasi."

Beda ayah, beda juga sang anak. Romeo menatap adiknya dengan pandangan bertanya. Apa yang lo lakuin, Shil? Tanya batinnya.



Feel? Keknya kurang greget ya. Maaf. Gue coba buat kejar target dulu, nanti revisi belakangan abis semuanya selesai. Stay tune ya!

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang