SEPULUH

95 17 6
                                    

Hal pertama yang gadis itu dengar adalah desiran ombak. Dan hal pertama yang ia lihat adalah ... lukisan pemuda itu!

Sheila menegakkan tubuhnya. Dia mengingat-ingat apa yang ia lakukan semalam. Bersama Dino ....

"Pertama kali gue ke sini adalah saat umur gue baru tiga tahun. Sama mama, dad, juga Chrisa ...."

Dino menggenggam lengan Sheila. Mereka menyusuri pantai, menikmati matahari yang kian meredupkan sinarnya. Sesekali Sheila merapikan rambutnya yang tertiup angin dan menyelipkannya di belakang telinga.

"Lo tau, Shil, tempat ini punya terlalu banyak kenangan buat gue dan keluarga gue ... Bukan tempat pertama yang gue kunjungi, bukan. Tapi tempat yang perlahan-lahan membentuk hidup baru gue sekarang." Dino menatap Sheila sambil tersenyum.

"Dad bikin tempat ini sebagai hadiah buat mama, gue, dan Chrisa."

Sheila menatap Dino dengan seksama sambil mengeratkan pegangannya. Dia tahu Dino butuh seseorang untuk berbagi. Dan Sheila ... gadis itu akan menjadi tempat yang tepat untuk pemuda itu saat ini.

"Gue inget dad duduk di teras rumah sambil cerita tentang mama ... gue juga inget kita lari-larian di sini, di pantai ini." Dino menghela napas panjang kemudian berkata, "Gue juga inget mama ketemu papa di sini."

Semuanya berawal dari sini. Semuanya pernah ada di sini. Dan masih tetap di sini.

Sheila melangkah ke arah jendela dan membukanya. Di balik tirai itu, ia bisa melihat lautan yang dikelilingi pegunungan hijau. Dan orang-orang yang berlarian di sekitar pantai, dan bahkan hanya berjemur sambil mengabadikan momen.

Ceklek ....

"Udah bangun, Shil?" tanya Kinan yang sudah membawa segelas susu ke dalam kamar mereka.

Sheila tersenyum lembut.

"Tadi malem ... Dino yang bawa lo ke kamar. Dan dia bilang, kalo lo udah bangun, gue harus kasi lo susu madu." Kinan menyodorkan gelas tadi ke arah Sheila.

"Buat aku?"

Kinan mengangguk kemudian memindahkan gelas tadi ke tangan Sheila. Gadis itu membuka jendela di depannya dan menghirup udara sekitar dengan rakus.

"Akhirnya gue bisa rasain udara segar!"

Sheila mengamati Kinan sambil menyesap minumannya setetes demi setetes.

"Lo pasti udah sering ke sini, ya?"

"Nggak juga. Aku ...," Sheila berdeham kecil kemudian berkata, "ini yang pertama."

Kinan menatap wajah Sheila intens, "Really? Kok bisa? Kan lo adeknya Dino."

Pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang tidak pernah bisa Sheila temukan jawabannya. Ya, dia adik Dino. Tapi apa memang seperti itu? Lalu bagaimana dengan hubungan mereka? Sheila terlalu tabu untuk tahu tentang kakaknya itu.

"Shil ...," panggil Kinan.

"Sheila!" teriak seseorang dari luar kamarnya.

Kedua gadis itu menoleh cepat. Hingga suara itu kembali berdengung di luar kamar mereka.

Sheila menghela napas pendek sebelum berjalan ke arah pintu.

Ceklek ....

"Shil! Lama banget deh bukainnya. Ayo makan, entar lo sakit," kata Dino cepat sambil menarik lengan Sheila.

"Eh ... bentar, Kak. Kak Kinan nggak diajakin juga?"

"Tau lo, Din, tega banget sama gue," seloroh Kinan yang saat ini sudah menghampiri mereka.

Pemuda itu berdecak kemudian menyahut, "Alah lo nggak usah diajakin juga ngikut sendiri."

Gadis itu terkekeh pelan sambil meninju lengan Dino. "Lo selalu tau gue ya?"

"Din!" panggil seorang pemuda menghampiri mereka. "Eh buset, lo disuruh manggil cewek-cewek malah ikutan rumpi di sini. Cepetan napa gue udah laper banget ini."

Dino tertawa sambil memasang wajah bodoh. "Benarkah? Oh, maafkan saya Tuan Muda."

Seketika tawa mereka pecah. Kecuali Sheila yang memang tidak tahu maksudnya.

"Okta pernah mimpi kalo dia tuh jadi tuan muda," ungkap Dino. "Dan gue rasa mimpi itu ketinggian."

Mereka kembali terkekeh.

"Dino! Lo jatuhin harga diri gue di depan adek lo bego!" desis pemuda itu.

"Emang napa? Udah ayo makan, gue tau cacing lo udah kepanasan, iya 'kan?" tebaknya yang sukses membuat Okta mendesis.

Dino menarik lengan Sheila agar berjalan di sampingnya. Sementara Okta dan Kinan mengikuti dari belakang. Sesekali mereka berkomentar saat melihat foto masa kecil Dino di sepanjang dinding. Tapi pemuda itu tidak peduli, baginya masa kecilnya adalah hal terindah yang pernah ia dapatkan.

Tidak semua anak memiliki masa lalu seindah miliknya, 'kan? Termasuk Sheila, adiknya.

Mereka menuruni satu per satu anak tangga hingga bagian belakang rumah itu. Sheila dapat mencium aroma makanan yang begitu menggugah seleranya. Di sana, di belakang rumah itu ada sebuah taman yang berhadapan langsung dengan pemandangan bukit yang dikelilingi pepohonan besar.

Dino menghampiri sebuah pemanggang yang tadi digunakan oleh seorang wanita paruh baya yang Sheila tahu adalah penjaga rumah itu.  Pemuda itu menatapnya sebentar kemudian beralih ke arah potongan daging dan sosis lengkap dengan saos dan mayones.

"Lo mau makan apa, Shil?" tanyanya.

Gadis itu sedikit terkejut. Ia melirik kanan dan kirinya di mana teman-teman kakaknya itu sudah menyantap makanan mereka masing-masing.

"Hmm ... beef burger aja deh, Kak."

"Oke, pesanan akan segera datang. Lo duduk aja ya," pinta pemuda itu yang kini sudah sibuk dengan daging di atas pemanggang.

Sesekali pemuda itu bersiul dan menyanyikan sebuah lagu yang tak asing lagi di telinganya. Tanpa sadar Sheila tersenyum sendiri. Dihirupnya udara sekitar dengan rakus untuk mengurangi rona merah yang ada di pipinya. Andai lagu itu buat aku, Kak. Pikirnya.

Sheila masih tersenyum samar hingga tiba-tiba seseorang duduk di hadapannya. Romeo.

"Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya pemuda itu.

Sheila sedikit kaget ditanyai seperti itu. Belum lagi jarak mereka yang tidak begitu jauh. Serta aura mengintimidasi yang masih bisa Sheila rasakan saat berdekatan dengan sahabat kakaknya itu.

Gadis itu berdeham kemudian berkata, "Nyenyak, Kak."

Romeo mengangguk. Sesekali ia terlihat mengusap tengkuknya dan melirik ke arah Dino yang memandangnya penuh curiga. Hingga tak lama pemuda itu meletakkan dua piring berisi hamburger untuk Sheila dan dirinya sendiri.

"Lo ngapain si, Rom?" tanya Dino tiba-tiba sembari duduk di tengah.

"Ngobrol aja. Emang nggak boleh?"

Dino menghela napas acuh, kemudian mulai menggigit makanannya.

Romeo baru saja hendak pergi ketika suara Dino mengintrupsinya, "Sebelum lo pergi ... gue minta tolong bikinin kita minum dong, Rom."

Pemuda itu tersenyum licik kemudian mengibaskan tangannya agar Romeo segera melakukan tugasnya. Dia suka Romeo yang penurut.

Gue bingung di chap ini. Huh, semoga kalian suka ya. Gue langsung lanjut ke next chapter. Stay tune ya :)

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang