DUA PULUH TUJUH

62 11 0
                                    

Chrisa menatap pemandangan itu lagi pagi ini. Tubuh setengah telanjang yang tengah bergerak ke sana-ke mari dengan gerakan indah. Sesekali kepalanya timbul di antara riak air kolam yang ia yakin pasti dapat membuat giginya bergemeletuk.

Gadis itu menyingkirkan beberapa helai rambut yang menyapu wajahnya pelan. Matanya terbias sinar mentari yang bersinari di balik rimbunnya daun pohon mangga dari sudut taman. Mengeratkan kimononya, Chrisa merasakan udara yang berembus kencang pagi ini.

Namun, meski ia kedinginan sekalipun, gadis itu tidak berniat melewatkan pemandangan itu pagi ini. Pun pagi-pagi berikutnya. Chrisa menyeret sebuah kursi dan menghadapkannya ke arah kolam di mana Dino masih saja berenang dengan lincah.

"DINOSAURUS!" teriaknya spontan.

Dino berhenti sejenak sambil memandangi penampilan gadis itu pagi ini. Seulas senyum tampak tersungging di bibirnya.

"Chrisan! Adu renang sama gue sini," tantangnya membuat gadis itu memutar bola matanya jengah.

Tersenyum kemudian, Chrisa menumpukan kepalanya di atas dua tangan di atas meja. Ia menikmati setiap detik waktu yang terus berlalu. Seolah esok semuanya akan berbeda.

Salahkah jika saat ini gadis itu takut?

Sibuk dengan pikirannya, suara seksi Adam Levine terdengar nyaring dari dalam kamarnya. Segera Chrisa beranjak setengah malas.

Romeo. Gadis itu mengernyit heran. Penasaran, ia menggeser jarinya hingga menyentuh ikon berwarna hijau yang berkelap-kelip di dalam layar.

"Halo."

"Hai, Sa, gimana kabar Dino?" tanya pemuda itu to the point.

"Baik, dia udah bisa mulai renang lagi malah."

"Renang? Sepagi ini? Kenapa diizinin? Kalo dia drop lagi gimana? Lo nggak khawatir?"

Siapa bilang Chrisa tidak khawatir. Ia punya seribu lebih alasan untuk mengkhawatirkan saudara kembarnya itu. Hanya saja, ia harus memilih. Dino mengajukan syarat untuk tetap melakukan hobinya itu jika ia diharuskan menjalani operasi untuk mengangkat sel kanker yang menggerogoti tubuh.

"Kita nggak punya pilihan laen, Rom," desahnya.

Romeo terdiam cukup lama. Ia tahu keadaan tengah benar-benar menguji mereka. Ia percaya Chrisa akan melakukan segalanya demi Dino, karna itu adalah janjinya saat mengetahui pemuda bermanik coklat madu tersebut terkapar tak berdaya dengan segala jenis alat penunjang hidup di tubuhnya.

"Udah dulu ya, Rom, gue mau ke bawah dulu, dipanggil Mama," ucap gadis itu sebelum memutuskan sambungan secara sepihak.

Mendesah kecewa, Romeo hanya mampu diam. Ditatapnya deretan pohon cemara di belakang rumahnya dengan pikiran kosong. Sejak kesembuhan Dino, hubungan mereka tidaklah begitu baik. Dino menjaga jarak darinya, ia tahu itu. Romeo tahu alasannya, tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ini.

***

Chrisa berjalan lambat ke halaman belakang rumahnya. Di salah satu ayunan di sana, sudah ada seorang pemuda dengan rambut acak-acakan duduk tenang sambil memandang bintang-bintang di langit. Gadis itu duduk di sampingnya dalam kesunyian.

Menyadari sang saudari kembar ada di sana, pemuda tadi–Dino–menoleh singkat sambil tersenyum lembut. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Hanya desau angin dan suara jangkrik yang sesekali menyapa indra pendengaran mereka.

Chrisa menatap Dino dari samping, meneliti kembali pahatan wajah itu di bawah sinar sang rembulan. Lusa adalah hari operasi Dino, sebuah hari di mana ketakutan lainnya muncul begitu saja.

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang