"Ciee ada yg baru jadi BEST COUPLE nih tadi malem," goda Dino sembari menatap adiknya yang baru saja bergabung dengan keluarganya di meja makan.
Clara menatap kedua anak kembarnya itu bergantian. "Siapa yang best couple, Din?"
Chrisa mendelik sebal. Di bawah sana, kakinya sudah bergerilya untuk membuat kakak tertuanya itu bungkam.
"Aww! Kaki siapa sih nih rese," ucap El tiba-tiba. Pemuda itu melongokkan kepalanya di bawah meja makan.
Dino terbahak karenanya. Dan saat itu Chrisa menyadari sesuatu. Sasarannya meleset.
"Chrisa. Tau nggak Ma, semalem dia itu dinobatin sebagai pasangan paling serasi sama Romeo. Ya nggak, Shil?" beber Dino antusias.
Wajahnya tampak berbinar menceritakan kejadian semalam pada keluarganya. Terutama Clara, sang mama.
"Makanya tidurnya nyenyak banget tuh semalem, sampe dibangunin aja malah senyum-senyum nggak jelas."
Chrisa terbatuk. Nah, yang itu Dino bohong.
"Oh ya? Emang Kakak suka sama Romeo?" tanya Clara memperhatikan raut masam gadis itu.
"Ih, Mama, aku tuh nggak suka sama dia. Kenal juga baru aja, gara-gara Dino nih!"
Dino menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang ia tumpukan di atas meja. Pemuda itu masih memfokuskan perhatiannya pada adiknya yang menurut pengamatannya masuk kategori cewek naif. Dan itu membuatnya gemas sendiri.
"Nggak suka kok blushing gitu sih, Kak."
Dino menjentikkan jarinya. Bukan ia yang barusan berbicara. Tapi ada seseorang yang sependapat dengannya. Ayahnya.
Yah, meskipun agak aneh saat tahu laki-laki itu sejalan dengan pemikirannya.
"Papa! Siapa yang blushing coba?"
"Udah ngaku aja kenapa sih, Kak, aku juga liat kok. Pipi Kak Chrisa merah-merah gitu."
Chrisa hampir saja menganga mendengar penuturan adik terkecilnya, Dania, yang kelewat polos. Umurnya baru saja tujuh tahun, dan gadis itu bisa berbicara seolah hal itu lumrah di usianya.
"Dania masih kecil, nggak boleh main cinta-cintaan," celetuk El.
"Kak El nyebelin, masak aku ngomong gitu aja nggak boleh. Kak El juga kan sering gitu kalo sama Kak Lyra!" protesnya yang kian membuat pemuda yang hanya selisih setahun dari gadis itu kesal.
Dino dan Chrisa saling berpandangan melihat kedua adiknya itu. Persis seperti mereka saat masih kecil dulu.
"Elang sama Dania nggak boleh berantem, nanti Papa hukum."
Chrisa terpekur. Tiba-tiba dadanya sesak. Dia merindukan Bradley, ayah kandungnya. Laki-laki itu selalu melakukan hal yang sama seperti yang saat ini Miko lakukan pada kedua adiknya.
Dino juga merasakan hal yang sama. Tapi dia cukup pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Untuk membuat dirinya nyaman dengan keadaan.
Ini tahun yang berat untuk mereka.
"Romeo itu sebenernya siapa Kak?" tanya Clara sambil mengusap puncak kepala Chrisa.Hanya taktik yang selalu digunakan Clara untuk membuat kedua anak pertamanya tidak terlarut dalam kesedihan.
Gadis itu tersenyum lembut, "Temen Dino, Ma."
"Kok Kakak bisa kenal?"
Chrisa baru saja membuka mulutnya sebelum Dino sudah lebih dulu menyela, "Aku kasian liat Chrisa jomblo, Ma, makanya aku kenalin sama dia."
Gadis itu hanya memutar bola matanya, malas berdebat dengan saudara kembarnya itu. Sementara Clara hanya tersenyum. Sifat putra pertamanya itu selalu mengingatkannya pada seseorang yang sampai saat ini memiliki tempat sendiri dalam hatinya. Hanya bagian kecil yang tidak pernah bisa mengalahkan posisi suaminya saat ini. Hanya saja, mereka punya kenangan yang tidak akan pernah Clara lupakan seumur hidupnya. Bradley Anderson.
***
"Hai, Shil!"
"Pagi, Shil!"
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya Sheila mendapat begitu banyak sapaan dari beberapa gadis. Ia mengernyit bingung. Sejak kapan dirinya jadi terkenal? Selama ini ia terbiasa menjadi gadis tak terlihat di kalangan teman-temannya. Dan itu cukup baginya.
"Kenapa Shil?"
"Nggak pa-pa kok, Kak."
Tiba-tiba Sheila merasakan tangannya digenggam. Gadis itu menoleh ke samping. Menatap senyum kakaknya itu.
Bolehkah kali ini Sheila merasa menjadi kekasih seorang Deano Oliver? Atau dia cukup tahu diri bahwa pemuda itu adalah saudaranya?
Diliriknya Dino yang masih saja menyunggingkan senyum menawannya kepada setiap orang yang ia temui. Termasuk pada beberapa gadis yang sengaja menarik perhatiannya. Sheila tertawa getir. Dino hanya menganggapnya saudara yang harus selalu ia lindungi. Karna seperti itulah harusnya hubungan mereka.
Mungkin takdir benar-benar senang menarik-ulur perasaannya. Dan Sheila terlalu terbuai untuk mengakui jika ia terlena.
"Sheila?"
Gadis itu tersentak. Dia menatap sekelilingnya. Mereka telah berhenti di sebuah ruangan dengan papan bertulis 10 IPA 2 yang tergantung di atas pintunya. Kelasnya.
"Are you okay?" tanya pemuda di sampingnya khawatir.
Dino menyentuh dahi Sheila dengan telapak tangannya yang bebas. Menyalurkan kehangatan yang mengaliri tubuh gadis itu begitu saja.
"Aku baik kok, Kak. Ehm, makasih ya udah dianterin sampe kelas," sahutnya yang dibalas senyum menenangkan pemuda itu lagi.
"Ya-ya. Lo ngomong kayak gitu gue berasa jadi pacar elo deh, Shil," kekehnya yang membuat wajah gadis itu bersemu.
"Masuk sana, lama-lama gue merinding diliatin temen-temen lo yang pada caper itu," bisiknya.
Sheila mengangguk, melepaskan tautan mereka sebelum melangkah ke dalam kelasnya yang telah ramai.
Setelah memastikan bahwa adiknya aman, Dino berjalan menjauh. Tapi, setiap langkah yang ia ambil bukan untuk meninggalkan gadis itu. Mereka hanya butuh sedikit jarak untuk bisa merasakan rindu yang sebenarnya ada.Kalau boleh jujur, Dino sebenarnya kesal dengan takdir. Bukannya mereka begitu jahat mempermainkan dirinya seperti boneka.
Dino lelah harus selalu tersenyum pada setiap gadis yang ia temui ketika hatinya hanya merasa senang karena seorang saja. Tapi, saat ia berpikir ia harus jadi pemuda dingin, dia selalu mengingat ayah tirinya. Karena setiap Dino diam, ibunya selalu menyama-nyamakan mereka.
Mereka tidak sama. Tidak akan pernah sama.
Dear, readers. Gimana menurut kalian bagian ini? Gue yakin-nggak yakin sih. Btw, thanks ya buat yang udah semangatin gue buat update dan buat para pembaca yang lain. Luv you!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Too Far [End | Belum Revisi]
Roman pour AdolescentsThey say "follow your heart", but if your heart is in a million pieces, which piece do you follow? Mungkin takdir hanya mempertemukan mereka. Mungkin takdir hanya ingin melengkapi ceritanya. Takdir tidaklah jahat. Ia hanya mengikuti apa yang telah...