Melupakan

501 20 5
                                    

Jika dia sudah tak peduli
Bahkan lupa
Maka melupakan
Adalah jalannya.

🕛🕧🕐

Ternyata bros mawar itu tidak hilang, benda itu masih utuh seperti sebelum di temukan Azzam. Ya, Azzam yang menemukannya di dalam keranjang belanjaan dan di kembalikannya saat makan di Restauran Sederhana tadi. Mungkin terjatuh saat aku menyenggolnya saat itu. Entah aku harus senang benda kenang-kenangan ini kembali atau lenyapkan saja agar rasa kecewaku padanya tidak terus teringat dalam benak.

"Ayuk! kenapa diam aja dari tadi," tanya Zahra sedikit berteriak, Azzam pun ikut menengok kepadaku membuatku gugup. Untung saja itu hanya sekilas setelahnya ia kembalikan lagi pandangannya menuju jalan.

"Iya, Ra. Ada apa?" Jawabku melontarkan pertanyaan.

"Nggak papa sih, Yuk!" Jawabnya sambil tersenyum yang di buat-buat, khas anak kecil kalo lagi malu-malu. "Yuk, Zahra mau duduk sama Ayuk di belakang." Sungguh demi apa Zahra ini orangnya sangat cantik lagi imut tapi juga nyeselin, bukannya tadi dia yang minta aku di depan bahkan maksa.

Aku berusaha menepis rasa kesalku, lagi pula Zahra ini anak kecil. Tingkahnya yang ngeselin memang itu suatu pertumbuhan anak seusianya, dan aku yakin aku pun pernah melakuakan hal ini ketika kecil.

"Bang Azzam, berhenti dulu dong, Ayuk mau duduk di belakang," ucap Zahra memberitahukan Azzam, aku pun menatap Azzam sekilas setelah pria itu melontarkan kata 'iya'. Lagi-lagi aku tidak dapat menebak ekspresinya itu. Apakah dia senang atau sebaliknya.

Setelah mobil berhenti aku segera berpindah tempat ke belakang. Padahal perjalanan juga bentar lagi sampai, mungkin hanya 300 meter dari kami berada. Sebelum mobil meluncur kembali tiba-tiba ada tukang koran menawarkan dagangannya, Azzam membeli beberapa koran yang pasti tidak hanya dua--tiga, sepertinya lebih dari lima bahkan aku sempat bingung memperhatikannya. Buat apa dia membeli koran dengan bacaan yang sama, bukankah satu saja cukup? Lalu pria itu membayar dengan bayaran lebih dan pada akhirnya aku tau maksud kenapa dia membeli itu koran.

"Bang, Zam. Bukannya koran di rumah ada juga ya yang kaya gitu! kenapa beli lagi? banyak pula." Lontaran itu datang dari mulut mungil si Zahra dan Azzam hanya membalas dengan senyum.

"Azz, kamu mau diantar ke toko atau langsung kerumah?" tanya Azzam padaku, padahal aku baru saja hendak memulai obrolan pada gadis kecil di sebelahku ini.

"Ke toko aja, Zam. Aku bawa mobil tadi," jawabku singkat padat dan jelas. Azzam mengangguk

Azzam ini memang tak banyak bicara padaku sejak tadi, mungkin karena belum terlalu akrab, namun jika bertemu teman akrabnya tadi pria itu begitu banyak melontarkan pertanyaan bahkan menjawab pertanyaan dari temannya. Terbukti saat di restauran tadi, Kami bahkan tidak makan bertiga--tambah satu anggota lagi yaitu teman Azzam yang aku dengar mereka dulu satu SMA.

Obrolan dua pria yang aku saksikan tadi begitu menyenangkan, aku jadi teringat pada Salsa sahabatku yang sekarang kuliah di Jakarta. Melihat keakraban Azzam dan temannya itu membuatku rindu pada Salsa.

"Yuk, ini apa ya jawabanya," tanya Zahra sambil menyodorkan ponselnya. Ternyata gadis kecil ini sedang bermain game cerdas cermat, pilihan game yang sangat mendidik menurutku. Entah kenapa aku sangat bangga kalau melihat anak kecil lebih milih hal yang bermanfaat dari pada yang menyenangkan, sekejap nantinya juga hanya capek yang di dapat, sedangkan permainan itu akan menguntungkan bagi si pemain; menambah wawasan dan pengetahuan.

AZZMIYA LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang