Diam dalam kenangan
Menghempaskan segalanya
Pergi ...
Pergi ...
Pergi ...
Tinggalkan
menghilanglah bayang-bayang🕚🕢🕓
Azzam sudah keluar kamar lima menit yang lalu, dan aku masih terdiam di dalam kamar dengan perasaan gundah gulana.
Beberapa kali kuperhatikan penampilanku di depan kaca. Menggunakan syar'i panjang hingga menutupi tumit dan sedikit longgar pada pinggang menutupi lekukan tubuhku. Syari'i yang bermotif batik itu senada dengan milik Azzam. Sengaja aku buat untuk mengahadiri resepsi pernikahan Iqbal dan Adlya.
Aku ingin bersikap baik-baik saja di depan mereka nanti. Meyakinkan bahwa hati ini sudah merelakan pria itu. Meski kenyataannya aku sendiri pun tidak tahu.
"Sayang sudah belum, ayo berangkat. Nanti kesiangan loh." teriak Azzam dari balik pintu kamar. Mendengar panggilan itu, ada perasaan aneh. Geli saja rasanya di panggil sayang olehnya untuk pertama kalinya.
"Iya, lima menit lagi. Aku ke kamar mandi dulu."
Di dalam kamar mandi aku berusaha menormalkan perasaanku. Kurang yakin, apakah aku bisa melalui hari ini dengan senyum. Melihat Iqbal bersanding dengan Adlya. Membayangkannya saja sudah membuatku meringis. Dulu aku selalu membayangkan akulah yang bersanding dengannya. Tapi faktanya Adlya lah orang yang sesungguhnya.
"Ayo Mas," ajakku, Azzam menampilkan senyum tipis lalu menggenggam tanganku menuruni tangga.
"Aku tau kamu belum bisa melupakannya, tapi percayalah semua pasti akan berubah seiring berjalannya waktu," bisik Azzam tepat di telingaku. Aku memutar kepala ke arahnya. Lalu setelahnya menunduk dalam.
Setelah mengunci rumah kami segera beranjak dari halaman menuju rumah Iqbal.
Sudah tiga hari kepindahanku dan Azzam ke rumah baru. Tapi semua tetap sama. Termasuk perasaanku.
"Kamu kenapa?" tanya Azzam. Aku sadar dari tadi dia melirik ke arahku, walau masih dalam keadaan mengemudi. Mungkin mimik wajahku mudah di baca olehnya. Bagaimana tidak. Sejak tadi kekalutan terus menghampiri. Hari ini aku akan bertemu dengan Ibu Iqbal, ayah Iqbal beserta Iqbal dan Istrinya yaitu Adlya. Keluarga masa lalu yang pernah aku idamankan. Seharusnya aku sudah melupakan bayang-bayang itu, tapi seakan bayang-bayang itu enggan meninggalkanku.
Aku menormalkan lagi perasaanku. Menampilkan senyum di hadapannya dan berkata bohong, "Tidak apa-apa, cuma masih sedikit ngantuk aja Mas."
Tentu saja alasan itu tidak kuat untuk mengelabuinya. Aku yakin sekali Azzam sebenarnya tau dengan perasaanku kini. Hanya saja ia mengangguk paham membalas alasan itu.
Sudah berapa kali aku menyakitinya, aku kecewa dengan diriku sendiri bahkan sangat kecewa.
Parkiran telah penuh begitu kami tiba di tempat acara---acara di laksnakan di rumah Iqbal. Azzam mengambil tempat parkir paling pojok yang masih tersisa untuk satu mobil.
Azzam menggenggam jemariku erat memasuki tenda. Sebelah tangannya memegang kado cukup besar.
Kami memasuki tenda, pertama kali di sambut oleh ibu Iqbal. Aku langsung masuk ke pelukan wanita setengah baya itu. Ia menangis di pundaku. Tubuhku memang lebih tinggi dari ibu Iqbal. Aku berusaha tegar untuk tidak menjatuhkan satu pun buliran air dari sudut mataku. Ini sudah menjadi takdir. Jadi tak perlu di tangisi lagi bukan?
Aku memegang bahu ibu Iqbal, memberikan senyum kepadanya. "Tante sehat?" tanyaku.
Wanita setengah baya itu mengangguk sembari menghapus air matanya. Lalu memberikan senyum ke padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZZMIYA LARASATI
Espiritual"Pergilah dan pulanglah sesuai janjimu, jangan pernah ingkari bila memang benar-benar mencintaiku. (Azzmiya Larasati)" "Tunggu aku pulang, tagih janjiku meminangmu! tanpa di tagih pun aku akan berusaha menempati semua janjiku. InsyaAllah. (Muhamad I...