Titik titik yang sejak dulu
Tak pernah ingin kuisi
Akhirnya kini
Terisi penuh oleh
Coretan tinta hitam penyesalan.🕞🕓🕐
Sejak tadi aku hanya menunggu Maysha, duduk di kursi kayu yang berada disisi lapangan. Menyaksikan dua orang yang kini sedang asik memantulkan bola basket.
Kebahagiaan terpancar dari wajah jelita adik kesayanganku. Senyum yang telah lama tak ada, kini hadir dikala orang yang pernah mengisi hari kami kembali. Namun, telah berjarak.
"Yuk, ayo ikutan."
Aku menggeleng cepat begitu Maysha melambaikan tangan. Tidak lupa aku menampilkan senyum terbaikku, agar May tidak kecewa. Iqbal sedari tadi diam, tidak seperti biasanya ngotot memintaku mendengarkan penjelasannya yang bagiku tidak penting lagi.
"Ayo, Yuk. May mau Ayuk juga ikutan main."
May menarik pergelangan tanganku, dan memohon agar aku mau ikutan. Melihat reaksinya yang kembali diam setelah aku katakan tidak mau, membuatku jadi serba salah.
Mau tidak mau aku harus menggerakkan kedua kakiku untuk ikut dalam permainan masa lalu itu, permainan yang pernah mengisi tawa ceria dilapangan ini. Lalu meninggalkan kekosongan dan kehampaan setelah kepergiannya.
Baru saja aku mencoba melangkah, namun harus terhentikan setelah mendengar suara pria itu. "May! kita istirahat dulu aja. Kak Iqbal capek nih," ucap pria itu lantang yang akhirnya diangguki oleh Maysha.
Maysha ikut duduk dikursi panjang yang semenjak tadi aku duduki. Air mineral masih bersegel siap akan dia kandaskan hingga tetes terakhir.
"Capek?" tanyaku. Maysha mengangguk.
Semua kembali diam ketika Iqbal datang meraih tasnya yang tergantung pada tiang penyanggah di sebelah kursi. Lalu mengeluarkan air mineral pula, dan meminumnya hanya beberapa teguk.
"May mau ke kamar kecil dulu ya Yuk."
May segera berlalu dari sampingku.
Sebelum benar-benar jauh aku sempat meneriakinya. "Mau Ayuk antar!" May menggeleng cepat lalu berlari pelan meninggalkan area lapangan meninggalkan kecanggungan diantara aku dan Iqbal.Terdengar suara ponsel pria itu berdering berkali-kali, namun pria itu seakan tidak mendengarnya. Mengabaikannya berbunyi di dalam tas Spor itu.
"Selamat ya atas pernikahannya, ternyata aku gagal menempati janji itu, mungkin Allah tidak suka aku berdamping denganmu, kamu terlalu baik Azz untuk pria sepertiku," ucap pria itu dengan nada berat.
Aku mendongak tegas memandangnya, namun dengan diam aku mengartikan ucapan itu. Berharap google itu manusia yang kini berada disini. Maka saat inilah aku akan bertanya apa arti dari kalimat itu.
"Jangan pernah berkata seperti itu! Aku bukan wanita baik seperti yang kamu ucapkan, kita terpisah bukan karena kamu tidak baik untukku atau sebaliknya, tapi karena takdir!" jelasku panjang lebar, membuatnya bungkam.
Iqbal ikut duduk di kursi. Kini jarak kami hanya sekitar satu meter. Diamnya dapat aku artikan bahwa saat ini dia sedang memikirkan suatu hal. Aku turut diam, suasana menjadi lebih canggung.
"Azz, mungkin ini sudah terlambat. Namun, aku harus menjelaskannya." Aku hanya mampu diam, entahlah seakan mulut ini terkunci hanya sekedar mengatakan tidak atau iya. Cukup lama diam ini berlanjut.
Iqbal menoleh kearahku, aku tidak membalas tatapannya. Pandanganku sedari tadi hanya aku pokuskan pada arah apa saja yang kini berada di depanku.
"Baiklah, aku akan ceritakan. Azz, mama sudah menjelaskan soal kamu yang pernah menelponku, lalu mama bilang ke kamu jangan ganggu aku lagi. Sebenarnya saat itu mama merutuki dirinya sendiri telah menyakiti hati kamu, mama sedih Azz, sampai-sampai jatuh sakit," jelas pria itu, kini aku mendongak menatapnya tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZZMIYA LARASATI
Spiritüel"Pergilah dan pulanglah sesuai janjimu, jangan pernah ingkari bila memang benar-benar mencintaiku. (Azzmiya Larasati)" "Tunggu aku pulang, tagih janjiku meminangmu! tanpa di tagih pun aku akan berusaha menempati semua janjiku. InsyaAllah. (Muhamad I...