Pertemuan

371 22 5
                                    

Setiap kali
Berusaha lari dan berlari
Dari sebuah kenyataan
Tapi seakan kenyataan
Terus mengejar
Menangkapku dengan
Segala kebimbangan

🕚🕦🕗

Benteng Kuto Besak malam ini terlihat ramai, di pinggir sungai musi berjejer penjual mie tek-tek seperti biasa. Aku dan Gisyel duduk di tangga yang berada di bibir musi, terdengar suara ketek berjalan melintasi perairan dan suara deru tranfortasi terdengar riuh di atas Jembatan Ampera, sepertinya di atas sana sedang macet berat. Para pengemudi saling memperadukan klakson.

"Azz, mau aku pesenin mie tek-teknya?"

Gisyel segera beranjak dari tempat duduknya ketika ku anggukan kepala tanda iya. Gisyel terlihat antusias memesan, meminta agar pesanannya lebih dulu di sediakan.

Wanita setengah baya yang kini berada di sebelah Gisyel mengoceh tidak karuan, sedangkan Gisyel membalasnya dengan delikan. Perempuan itu menunjukkan ekspresi masa bodonya, menyaksikan itu nyaris membuatku tertawa. Gisyel memang ada-ada saja.

Dua mangkok mie tek-tek telah berada di tangan Gisyel, wanita setengah baya itu berusaha merebutnya. Namun sayang Gisyel memiliki tingkkat ke gesitan yang tinggi, maka tak lantas Ibu itu dapat mengambilnya. Senyum kecil menghiasi wajah perempuan itu lalu melenggang ke arahku.

"Nih, mie tek-teknya." Gisyel menyodorkan semangguk untukku, asap kebul masih memenuhi permukaan, aku berusaha mengaduk-aduknya sejenak agar dapat di nikmati dengan panas yang tidak membakar gusi dan lidah.

"Azz ada cogan, ya ampun nikmat tuhanmu manakah yang engkau dustakan, Azz!" seru Gisyel riang sendiri, matanya tak henti memperhatikan pria berkaos polos warna ungu tua yang kini memesan mie tek-tek.

Aku menoyor kepala Gisyel pelan. "Jaga pandangan, Neng!"

"Ahaha, okelah bos!" Gisyel menjawab dengan gaya hormatnya lalu mesem-mesem tidak karuan.

Angin malam mulai berembus pelan, menebarkan hawa dingin yang sedikit menyeruak. Tanda hujan akan datang melanda kota Palembang malam ini. Aku dan Gisyel segera menghabiskan mie dengan sedikit memburu.

hujan datang bersama rintik lalu tiba-tiba mengguyur derasnya. Untung saja kami telah berada di dalam mobil saat ini, kalau tidak kami akan bernasip sama seperti orang di luar sana. Berlari kesana kemari mencari tempat teduh yang nyaman.

Gisyel melajukan mobilku dengan pelan melintasi pertokoan. Namun hujan seakan tidak ingin berhenti, seakan air di atas sana masih melimpah. Jalanan terlihat kabut, aku dan Gisyel berencana berhenti dulu di KFC, sekedar menumpang meneduh, karena tempat itu yang paling dekat dengan tempat kami berada. Lagi pula pelataran di sana cukup luas.

Bukan hanya kami berada di sini, ada mereka dan mereka yang tidak kami kenal. Keadaan KFC cukup ramai, inilah keuntungan memiliki toko besar---apalagi saat hujan seperti ini. Selain dingin menusuk kulit namun perut ikut bersituasi memberikan gemuruh tanda lapar. Tidak dengan aku dan Gisyel, kami sudah kenyang oleh mie tek-tek di pinggir musi tadi.

Sambil menunggu hujan sedikit mereda, waktu kami habiskan mengobrol tentang apapun. Gisyel yang pertama berceloteh layaknya anak kecil, sekali dia berbicara jika di tulis bisa jadi sebuku. Dari cerita satu kesatunya yang pasti sesuatu yang dia ketahui. Aku menikmati cerita Gisyel yang panjang dengan santai, dan menjawabnya dengan seadanya.

"Mas Iqbal," ucap Gisyel, lalu menatapku menelisik. Aku keheranan menatapnya, kenapa dia menyebut nama itu.

"Gi, apaan sih ngeliatnya gitu banget!" seruku tidak senang mendapatkan tatapan aneh darinya.

AZZMIYA LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang