Cinta ini kasih
Menculik nurani
Memenjarakan logika dalam kesenyapan terdalam
Kini, bagaimana harus ku ungkap rindu
Ketika angin berhenti melayangkan jiwa kita dalam daun-daun randu
Sementara kapal Nuh pun enggan berlabuh
Apakah mungkin kita bersama
Jiwa memang saling memeluk
Menarik jarak
Namun Tuhan cemburu dan memisahkan kita(Kurniawan Al-irshad)
🕢🕢🕢
Cahaya lampu membias terang ke arah jalanan, sehingga dapat terlihat di sana ramai oleh pengendara. Deru mesin terdengar bersahutan dari atas balkon. Ya, di sinilah aku kini, di balkon kamarku. Sejak setengah jam yang lalu.
Tempat ini memang tak pernah sunyi dari suara hingar bingar kendaraan, kecuali tengah malam hingga sepertiga malam. Tapi anehnya aku betah saja berlama-lama.
Rasa dingin mulai menyeruak masuk kesela-sela switer yang kugunakan hingga menusuk ke pori-pori.
Aku meraih lalu menyeduh cappucino hangat dari atas meja, buatan Bi Iyem. Baru saja dia berlalu sekadar mengantarkan dua gelas cappucino untukku dan Gisyel. Namun entah kemana Gisyel saat ini.
"Eh, kok melamun sih. Awas kesambet." Aku menengok ke sumber suara, Gisyel datang dengan sepiring kentang goreng.
"Maling kentang goreng di mana nih!?" tudingku, sambil meraih piring itu dari tangannya.
"Abis nuduh orang, langsung asal tarik aja," katanya dengan sebal. Lalu duduk di kursi sebelahku. Sedang aku membalasnya dengan gelak tawa. Senang melihat ekspresi wanita itu saat berpura-pura sebal.
Seperkian detik aku memilih diam. Gisyel pun turut diam, namun tangan dan mulutnya saling bersahutan, bekerja sama mengolah kentang goreng tersebut. Kalau sudah berurusan dengan makanan, beginilah. Belum habis maka belum kenyang baginya.
"Kangen suami sih boleh, tapi teman disampingmu ini jangan kau anggap patung hidup juga kali!"
Aku memutar kepala malas, lalu tersenyum. "Apa aku ada salah ya, kok Mas Azzam kaya ngediemin aku?" ucapku lirih.
Beberapa hari ini Azzam mamang jarang di rumah, bahkan keberangkatan kami ke Bandung saja ditunda. Setiap ditanya, pasti dia hanya akan menjawab, 'Aku sedang lembur'. Dan pulang mungkin disaat aku tak ada di rumah. Sedangkan sekarang pergi keluar kota. Apa sebenarnya dia tidak suka atas pernikahan ini? dan ini adalah siasatnya untuk menghindar.
"Bagaimana jika kita cari angin aja?" ajak Gisyel.
"Di sini juga banyak angin kali Gi, lagian angin buat apa," ucapku membalas, Gisyel mendenges kasar.
"Maksudnya keluar gitu, cari hiburan. Makan kek, keliling mal kek, atau terserah kamu deh. Asal bisa melupa sejenak," balas Gisyel gercap.
🕢
Di siinilah kami saat ini, di BKB (Benteng Kuto Besak). Di sini jika malam memang padat oleh pengunjung. Hilir mudik orang berjalan melintas. Rata-rata berpasangan, bergandeng bahagia. Dan tak banyak juga segerombolan anak muda beramai-ramai nongkrong di pinggiran musi, sekadar mencari angel pas untuk berfose bareng. Atau hanya mengobrol garing dengan gelak tawa.
Semua pengunjung tidak hanya dari daerah setempat. Orang luar kota atau negri pun ada. Di sini dipenuhi lampu-lampu, dan dapat terlihat lampu yang bertengger pada tiang jembatan ampera menambah nuansa indah malam.
"Enaknya kemana ya?" tanyaku, aku melirik sana sini mencari tempat.
Gisyel menunjuk. "Gimana kalo kita kesana aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
AZZMIYA LARASATI
Spiritual"Pergilah dan pulanglah sesuai janjimu, jangan pernah ingkari bila memang benar-benar mencintaiku. (Azzmiya Larasati)" "Tunggu aku pulang, tagih janjiku meminangmu! tanpa di tagih pun aku akan berusaha menempati semua janjiku. InsyaAllah. (Muhamad I...