Lihatlah!
Lihatlah langit malam
Malam memang pekat
Tapi indah bukan?
Bintang menghiasi
Bulan menerangi
Kau tau apa itu sebuah perumpamaan?🕛🕧🕟
Sebenarnya malas, bertemu dengan sosok yang selama ini aku sebut sebagai sahabat itu. Namun sepertinya aku harus lebih terbuka sekarang, menerima penjelasannya. Jika tidak mau mengulangi kesalahan kedua kalinya.
Tiba di sebuah Cafe, aku segera mencari Salsa. Salsa tersenyum samar menyambut kedatanganku, namun sayang tak kubalas. Aku berjalan menghampirinya dengan perasaan campur aduk, rasa kecewa padanya lebih dominan saat ini. Membuatku enggan menyapanya seperti biasa.
Cafe agak sepi, Salsa duduk di meja nomor 49. Di barisan tengah dari pintu masuk. Di sebelahnya tak ada siapa pun. Pembeli lainnya berada cukup jauh dari tempat.
Aku duduk di hadapannya tanpa basa-basi berkata. "Apa lagi yang mau di omongin. Mau minta maaf? Tenang aja pasti dimaafin kok." kataku ketus.
Salsa diam seribu bahasa. Sepertinya dia sedang menyusun kata untuk berbicara denganku.
"Aku ngga punya banyak waktu Sal! kalo mau bicara, silahkan. Aku bakal dengarin. Jangan tambah masalah lagi deh, cukup masalah dengan suamiku yang belum juga usai, lalu jangan coba tambah masalah ini lagi. Please .... Sal ngertiin aku. Kalo kamu tanya aku kecewa atau nggak. Tentu saja kecewa. Coba kamu di posisiku, kamu bayangkan bagaimana perasaanmu!"
Salsa masih diam, namun sedikit mencoba mendongak. Kuhirup jus jambu biji yang sudah tersedia di atas meja sembari menunggunya bicara menjelaskan semuanya. Agar kesalah pahaman di antara kami segera usai. Aku capek luar biasa.
Salsa memulai penjelasannya, dengan kode menatapku dalam.
"Azz, maafin aku. Bukan maksudku membohongimu atau menghianati perteman kita, jauh dari itu aku hanya ingin mengambil jalan terbaik untuk semuanya. Awalnya aku benar-benar tidak tau jika Adlya mau menikah dengan Iqbal. Yang aku tahu Adlya mau menikah, tidak aku ketahui siapa dia yang menjadi calonnya. Malam minggu satu bulan yang lalu sebelum pernikahanmu berlangsung aku diajak Adlya ikut pertemuan keluarga. Saat itulah aku tau kalo Iqbal adalah calonnya. Calon suaminya."
Salsa diam sejenak, sedang aku mencoba mengunyah setiap kata yang keluar dari mulutnya dan memahaminya perkalimat.
"Di satu sisi aku ingin mengadu tentang semua ini. Namun di sisi lain aku tidak mampu melihat Adlya bersedih. Dia punya penyakit jantung. Entah, padahal masih muda. Namun penyakit adalah penyakit, bisa menjalar ke siapa saja terutama Adlya. Jika aku beri tahu semua ke kamu ada kemungkinan penyakitnya kambuh, kaget akan semua ini. Aku takut penyakit Adlya bertambah parah. Dan pada akhirnya aku memilih tidak memberi tahumu. Jauh dari itu aku juga luka melihatmu selalu menangis hanya demi menunggu seorang Iqbal. Saat ku tau malah tidak memberimu tau. Maafkan aku yang mengorbankanmu demi sepupuku."
Jelas sudah bagiku semua itu, aku tersenyum samar menerima penjelasannya. Lalu memegang pundak Salsa. "Sa, emm ... kamu memang sahabatku yang baik. Kalo jalannya seperti itu, aku bisa menerima semuanya kok. Walau Iqbal belum sepenuhnya hilang dari hati ini. Tapi mulai sekarang aku Ikhlas dan merelakan Iqbal bahagia dengan Adlya. Lagi pula dia wanita yang baik. Please ... jangan beri tau semua ini dengan dia. Biarkan semua kita simpan. Biarkan masa lalu di bawa angin terbang jauh, sejauh mungkin. Kini ada kehidupan baru yang mesti kita hadapi."
Salsa mengangguk dan tersenyum senang, tidak seperti tadi yang di penuhi ketakutan. "Terimakasih, Azz."
"Eh, ini cuma dikasih minum doang ya akunya?" tanyaku mencoba membuyar kecanggungan, Salsa nyengir sambil melambai ke pelayan yang sedang berdiri di samping penyajian. Pelayan itu menengok ke arah kami dengan senyum dia berjalan menghampiri sambil membawa note di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZZMIYA LARASATI
Espiritual"Pergilah dan pulanglah sesuai janjimu, jangan pernah ingkari bila memang benar-benar mencintaiku. (Azzmiya Larasati)" "Tunggu aku pulang, tagih janjiku meminangmu! tanpa di tagih pun aku akan berusaha menempati semua janjiku. InsyaAllah. (Muhamad I...