Iqbal-Azzam

529 35 8
                                    


Jika jodoh adalah takdir
Jangan membuat diri terjerat dalam
Cinta terlalu dalam
Hingga melumpuhkan
fikiran dan imaji

.

🕖🕢🕓

.

Kenapa Iqbal tega mengingkari janji itu, padahal hanya dia impian menjadi imamku kelak. Aku memang salah, tak seharusnya mendahului takdir--Tidak seharusnya membuat perencanaan, sedang Allah yang Maha perencana. Sungguh dosa apa yang sudah aku buat ini, sehingga menimbulkan luka untuk diri sendiri.
Mungkin ini adalah jalan Allah memisahkan kami dari ikatan yang di namakan cinta. Karena cintaku pada Iqbal seakan-akan memenuhi isi ronggaku hingga melupakan cinta padanya Sang Maha Kuasa.

Tapi, entah kenapa suara Ibu Iqbal yang terlontar tadi begitu menusuk, membuat kelemahan tercipta. Aku berusaha beristifar berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak ini.

Aku hanya mampu terisak sambil membekap bantal guling, mungkin saja nama Iqbal akan terhapus nantinya bersama air mata yang turun teresap.

"Ayuk..Yuk," panggil wanita setengah baya sambil mengetuk pintu kamarku. Ku hapus cepat air mata ini, tidak ingin bunda melihatnya. Sungguh malu pada bunda, karena setianya menunggu Iqbal yang bukan siapa-siapa hingga membuatku sering membantah setiap kata yang sering bunda katakan.

"Iya, Bun. Buka aja pintunya, nggak di kunci kok!" kataku. Bunda masuk dengan ekspresi kawatir. Apa mungkin suara isakku tadi terdengar olehnya? begitu datang bunda memelukku erat, sangat erat. Pelukan ini begitu hangat. Tiba-tiba saja air mata jatuh membasahi pipiku. Sedih bukan karena masalah dengan Ibu Iqbal tadi, melainkan begitu besarnya kasih sayang bunda padaku.

"Bunda kenapa?" tanyaku. Bunda tak lantas menjawab, dia memandangiku dengan seksama, lalu memegang kedua pipiku. Aku mengeryit.

"Bunda tidak mau kehilangan Ayuk, bunda kira tadi pagi Ayuk kabur." Aku langsung kaget mendengarnya, kirain karena bunda mengetahui apa yang terjadi denganku. Ternyata karena aku pergi tanpa pamitan yang bunda kira kabur. Kalo di fikir secara logika. Apa penyebabnya bila memang kabur? Karena tersinggung kalimat bunda malam itu! tidak masuk di akal bukan? yang pasti bunda itu sayang denganku hingga puncak kekhawatirannya begitu ketat.

Aku tertawa renyah setelahnya, lalu melepaskan tangan bunda dari pipiku. "Bun," panggilku. "Iya kali! Mya kabur." Dan aku pun tertawa kembali. Bunda hanya membalas dengan senyum sumringah, melihatku tertawa seperti ini mungkin sudah bikinnya bahagia begitupun aku ketika melihat bunya tertawa.

"Kamu ini, kalo ketawa kira-kira ya, nanti di kira orang gila baru tahu rasa," ucap bunda. Membuat tawaku terhenti, aku memasang muka datar dan pura-pura mematung. Keramik menjadi tujuan penglihatan. Cukup lama aku diam, berusaha agar akting ini berhasil.

Bunda terlihat bingung, beberapa kali melambaikan tangan di depan mukaku tapi tetapku abaikan. Muka bingungnya berakhir dengan ke khawatiran. "Mya..Ayuk, kesurupan?" tanyanya sambil memandangiku. Aku masih diam. Rasanya ingin tertawa lihat ekspresi bunda.

"Eh..eh..Bunda mau kemana?" tanyaku ketika bunda hendak beranjak dari sana, mungkin dia ingin memanggil ayah atau gimana.
Dan kali ini bunda yang tertawa, aku pun akhirnya manyun. Ketahuan kan! Padahal baru sebentar ngerjain bundanya.

"Ayuk..Ayuk!" bunda geleng-geleng kepala. "Bunda jadi keingat waktu masa-masa kamu masih kecil dulu, kamu sering melakukan hal-hal seperti ini--ngerjain bunda sampai kesal dan khawatir," jelasnya seperti memutar memori lawas. Aku hanya membalasnya dengan senyum hangat, sehangat kasihku pada Sang Bunda. Tanpa di sadari sejak tadi aku mampu melupakan sejenak masalah itu, itu semua karena wanita setengah baya di depanku ini.

AZZMIYA LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang