Chapter - 10. They Are Upset

1.2K 84 6
                                    

SELAMAT MALAM TAHUN BARU 🎉🎉🎉

EITS, SEBELUM BACA, PROMOSI DULU DONK:V

EITS, SEBELUM BACA, PROMOSI DULU DONK:V

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAPPY READING 📖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Ketika acara selesai, keluarga Shean memilih pulang daripada berlama-lama. Pandangan menyakitkan itulah merupakan salah satu penyebab keduanya tak tahan menahan perih hati.

Saat Ally hendak mengambil sesuatu di tas, tak sengaja ia menabrak seseorang. Ia ingin memaki sosok yang seakan tak punya mata ini. Kalau tahu ia tak melihat depan, kenapa masih ingin menabraknya? Tapi saat ia mendongak, matanya dipertemukan dengan pemilik mata biru itu hingga membuat jantungnya berpacu cepat, diurungkan niat memaki. Ia ingin memeluk tubuh lelaki itu. Sayangnya, respon tubuh ini tak sesuai dengan hati. Ia hanya bisa menatap lelaki itu dalam diam dengan pikiran melayang-layang.

"Hei, Miss. Kau menghalangi jalanku," ucap pria itu sembari menaikkan kedua alis. Ia bingung dengan wanita di hadapannya yang tiba-tiba kaku, mata juga tidak berkedip namun berkaca-kaca.

Ally masih terdiam. Ia berpikir apakah ini Colin atau bukan. Matanya juga memastikan setiap inci wajah Colin yang begitu mirip dengan pria ini.

"Kau dengar aku?" tanya pria itu sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Ally. Merasa tak ada respon, ia menepuk pundak wanita itu, malah mendapatkan respon terkejut.

"Oh, hm, ya?" Ally mendadak kikuk. Ia menatap tangan lelaki itu di pundaknya lama. Bulu kuduknya meremang dan tubuh ini berdesir hangat.

"Bisa minggir? Kau menghalangi jalanku." Alex menjauhkan tangannya di pundak Ally. Bagaimana bisa wanita ini berjalan hanya kaki yang bergerak tanpa pakai mata? Malah menabraknya tepat di tengah jalan pula.

"Hm ...." Wanita ini hanya bergumam dan Alex menatapnya bingung. Ia menggeser tubuhnya perlahan lalu berjalan melewatinya. Apa ada yang salah dengannya hingga mengamatinya dalam? Ia tahu sedari tadi wanita itu memperhatikannya yang membuat ia risih dan tak nyaman.

"Sayang, ayo kita pulang!" serunya setelah menemui Sarah yang tengah berbincang dengan Jack dan Emily lalu mengecup singkat pipi wanitanya.

Ally tersadar dan mengepalkan tangan. Hatinya bak disayat pedang tajam di luar permukaan untuk memasuki permukaan yang lebih dalam hingga tidak ada celah untuk menyayatnya lagi. Bagian terparah, saat pria bernama Alex itu merangkul wanita itu posesif, seakan mengumumkan pada semua orang bahwa wanita yang berada di dekatnya adalah miliknya seorang dan tak akan ada yang bisa mengambilnya. Ia hanya bisa menggeram dari jauh.

Argh! Ia bisa mati melihat pria itu yang mirip dengan Colin berdekatan dengan wanita lain. Apalagi seposesif itu. Bahkan ia tidak pernah diperlakukan begitu. Sial! Rasanya ia ingin memecahkan dan menghancurkan barang-barang yang ada di dekatnya agar semua orang tahu seberapa tersiksanya ia menanggung semua ini.

Ia menghentakkan kaki dengan kasar menuju mobil dengan napas memburu. Sampai di luar dan hampir mendekati mobil, ia melihat lagi pemandangan sialan itu. Ia masuk ke mobil, mendapati Roky dan Nicky sudah duduk manis di kursi. Ia memang terlambat karena lupa memberikan hadiah kecil untuk Jack dan Emily. Sayangnya, ia tak berselera lagi memberikan itu saat ada sejoli yang dimabuk cinta saling memamerkan kemesraan. Ia duduk di sebelah Roky yang mengemudi, sedangkan Nicky duduk di belakang. Ia masih mengepalkan tangan, siap meninju apa pun karena tak henti-hentinya mereka menampilkan keromantisan seakan dunia hanya milik berdua. Ia menoleh ke samping dan mendapati jari-jari Roky menggenggam kuat stir. Ia memindahkan arah pandangnya dan mendengar adiknya menggeram kesal.

Nicky bingung dengan mereka yang mengepalkan tangan. Ia sedari tadi duduk di belakang merasakan aura tak sedap yang mereka keluarkan.

"Kalian kenapa mengepalkan tangan?"

Tak ada jawaban dan ia bertanya lagi dengan suara sedikit keras. "Hei, aku bicara. Jangan mengepalkan ta—"

"DIAM!" bentak keduanya. Sudah panas, ditambah panas pula.

"Bisa kau diam?!" Ally melemparkan tasnya ke dasbor hingga jatuh. Ia tak peduli lagi bagaimana nasib tas itu. Ia sudah terlanjur amat kesal.

"Aku hanya bertanya!" Nicky tak kalah marah karena merasa disudutkan.

"Kalian diam! Aku sudah emosi kalian pula bertengkar!" Roky menghidupkan mobilnya dengan kasar dan mengendarainya hingga meninggalkan tempat terkutuk itu. Ya, ia berharap hanya hari ini ia merasakan perasaan sialan ini. Ia berharap ini hanya mimpi agar ia tak merasakan sesak yang berkepanjangan. Ia harap lagi ... mereka bersaudara. Bukan menjalin kasih.

Selama perjalanan mereka hanya diam dan sesekali membelah keheningan dengan dengkusan, embusan napas, dan lemparan kasar.

Keluarga tak akur. Pas pula jalanan yang dilewati mereka mengalami macet. Sudah lengkaplah penderitaan.

"Shit! Sial..sial..sial!" Roky terus mengumpat dan memukul stir mobil. Ia meletakkan sikunya di sudut pintu dan memijit pelipisnya. Hal itu juga dilakukan Ally. Keduanya masih sakit hati karena pandangan terkutuk itu, dan sekarang macet melanda. Padahal setelah sampai di rumah, mereka ingin menenangkan pikiran dengan minum atau tidur.

Nicky pula, ia memainkan ponselnya santai seakan tak ada masalah. Inilah yang mereka lakukan setiap hari. Tak ada obrolan yang menghangatkan suasana, tak ada candaan.

Berat hati, mereka menunggu macet yang mungkin hampir beberapa jam baru reda. Bahkan sesekali Roky menekan klakson dan mengumpat kesal. Kini mereka harus ekstra sabar menunggu macet sialan ini, sampai-sampai ia pun mengantuk.

"Roky, kalau kau mengantuk biar aku yang mengendarai mobilnya," kata Ally saat melirik Roky yang hampir terpejam.

"Tidak perlu! Aku tak suka pertolonganmu!" Roky mengusap wajahnya dan menatap datar ke depan tanpa ingin melirik Ally.

Ally mengembuskan napas lelah dan mengeluarkan ponsel. Tak ada guna berdebat. Toh, Roky juga tak bisa ia bujuk. Akhirnya mereka sibuk sendiri dengan aktivitas yang mungkin membosankan. Klaksonlah yang menjadi penggiring dari pengendara yang tak sabar.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Timeless (Sequel Hopeless) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang