Chapter - 9. Bloodless Pain

1.2K 79 1
                                    

Hey guyss, sebelum baca, mampir ke work ini yuks! Kebetulan sudah mau tamat uyyy:v YAKIN GAMAU DIBACA?

Hey guyss, sebelum baca, mampir ke work ini yuks! Kebetulan sudah mau tamat uyyy:v YAKIN GAMAU DIBACA?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAPPY READING 📖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAPPY READING 📖

-------------------------------------

Acara berlangsung meriah. Banyak pengunjung yang salut dengan acara yang diadakan Jack dan Emily. Warna yang mendominasi adalah silver dan gold, semakin menambah kesan elegan dari konsep sederhana. Belum lagi banyak yang gemas melihat tingkah tiga anak kecil yang notaben anak Emily dan Jack. Claire, Carly dan satu anak lelaki yang memiliki sifat kasar, pemarah, dan bertingkah layaknya orang dewasa walaupun usianya baru menginjak delapan tahun. Morgan. Biasanya Jack dan Emily menyebutnya duplikat Roky kecil. Claire dan Carly pula kembar imut dengan pipi chubby. Usia mereka tujuh tahun dan berjarak tiga menit sebelum Carly dilahirkan.

Morgan, Claire, dan Carly berkompromi, ingin memberikan hadiah untuk Daddy dan Mommy yang masih di atas panggung sembari memberikan ucapan-ucapan manis seberapa beruntungnya saling memiliki dan bangga telah berhasil menjalin pernikahan yang sudah berdiri kokoh sejak lama.

Mereka bertiga mengangguk-angguk setelah berkompromi dan berlari ke seorang wanita manis yang tersenyum ke arah panggung.

"Bibi, kata-kata apa yang harus kami ucapkan di atas panggung?" sambar Claire berbisik.

Wanita yang dipanggil bibi itu menurunkan kepala lalu menghadap mereka dengan senyum. "Kalian cukup bernyanyi atau melakukan hal unik lainnya di atas panggung. Seperti bernyanyi, menari, atau memberikan puisi."

"Bibi Sarah, lebih baik kau ikut kami ke atas panggung. Sejujurnya aku malu untuk naik ke sana. Pasti banyak yang melihat dan setelah itu tertawa," ucap Carly sembari memanyunkan bibir. Ia tidak suka orang-orang menertawakannya, padahal ia tidak membuat lelucon sama sekali.

"Tidak mungkin Bibi naik ke atas panggung, suruh Paman Alex saja," ucap Sarah.

"Tidak mau! Kami ingin Bibi yang naik ke atas panggung bersama kami! Paman Alex pasti akan menolak!" ketus Morgan. Ia sudah tahu bagaimana reaksi Alex jika diminta hal begitu. Pasti ditolak atau tak digubris.

"Iya. Paman Alex pasti tidak mau. Kalau pun mau, pasti dia akan diam mematung seperti batu di sana!" Carly membenarkan perkataan Morgan dan juga menambahkan beberapa kalimat untuk menguatkan bukti tentang Alex.

"Oh, kalian nakal sekali membicarakanku dari belakang!" Alex tiba-tiba datang dan merangkul Sarah. Ia mengedipkan sebelah mata saat Sarah menoleh ke arahnya.

Sarah tersipu malu dan menyikut pelan perut Alex.

"Ada Si Batu!" Morgan mengejek sembari menjulurkan lidah.

"Hahaha! Si Batu!" Claire tertawa sehingga Alex menaikkan alis.

"Oeh, kalian mengejekku? Baiklah, Bibi Sarah tidak akan ikut bersama kalian panggung!" Alex tersenyum penuh kemenangan saat ketiga bocah itu terdiam.

"Ayo, Sayang. Kita pergi!" Alex berjalan dengan Sarah yang masih di rangkulannya. Sarah terkikik geli melihat reaksi mereka dengan wajah penuh kekesalan. Ketiga bocah itu menggerutu dan menghentakkan kaki. Mereka meninggalkan tempat itu dengan kesal dan sesekali menjelek-jelekkan Alex.

Pria yang baru saja merasa di awang-awang, remuk hati melihat adegan yang tak ia sangka. Beginikah rasanya sakit hati? Padahal hanya melihat adegan saling mengasihi, namun kenapa sesakit ini? Damn! Kenapa ia menjadi pria yang dimabuk cinta? Kenapa pula ia peduli dengan perasaan semacam ini? Bukankah ia tidak menyukai lawan jenisnya karena sangat merepotkan dan memuakkan? Oh, jangan bilang ia mulai menjilat ludah sendiri. Tapi, bolehkah ia membuat pengecualian bahwa wanita itu berbeda?

'Enough, Roky! Jangan berpikir bodoh! Walaupun kau menyukainya, tetap saja kau tidak bisa memilikinya!' batinnya memperingati. Benar, ia tak bisa memilikinya. Wanita itu milik Alex dan bodohnya kenapa ia menyukai sosok yang telah dimiliki. Semua ini mulai tidak benar dan ia benci dirinya yang mendadak gila. Tetap saja tak ia pungkiri, akan sulit melupakannya. Ia telah terjerembab pada perasaan ini dan ... ia meyakini wanita itu jauh lebih tua darinya.

Di lain tempat pula, Ally diam-diam mengamati wajah yang mirip dengan mendiang sang suami, tak menyangka telah memiliki pujaan hati. Bukankah pujaan hati Colin adalah Ally Shean? Mengapa ada wanita lain? Ia ingin menangis saat melihat adegan menyakitkan yang langsung mengoyakkan hati. Ia ingin memisahkan mereka, mengumumkan bahwa ia istrinya! Tapi ia sadar itu bukan haknya. Ia tak pantas melakukannya karena ia bukanlah siapa-siapa dan tidak berhak mengacau.

Ia ingin menyendiri, menangis, dan berteriak sekeras-kerasnya bahwa ia merindukan Colin. Ia ingin memeluk tubuh hangat suaminya. Perlukah ia membuat pengumuman agar seluruh dunia tahu bahwa ia membutuhkan sosok itu? Sayangnya, Colin tidak akan kembali.

Sungguh, hatinya hancur. Itu adalah pandangan yang menyakitkan untuk dilihat. Siapa pun, bisakah menghentikan setiap detik dan menit waktu yang terus berjalan? Oh, atau menghentikan apa pun yang bisa membuat hatinya memanas? Sesak di dadanya seakan-akan berteriak senang dengan kondisi ini, bahkan berani menghambat pasokan udara untuk masuk ke rongga pernapasan hingga sulit bernapas. Atau saking kalut, ia lupa bagaimana cara bernapas yang benar.

Keduanya meratapi nasib miris yang telah menjadi kutukan. Mereka pergi, mencoba menenangkan diri. Mereka butuh tempat sepi dan tenang agar otak ini bisa bekerja dengan baik dan mampu berpikir jernih, sekaligus menenangkan mata yang terasa dibakar bara api karena pemandangan mengerikan. Nyeri yang tak berdarah.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Timeless (Sequel Hopeless) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang