Chapter - 11. Great Debate

1.2K 88 15
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Bertubi-tubi suara gelas gelas berjatuhan dan ....

Bunyi botol kaca kembali mengeluarkan suara yang begitu nyaring hingga menggema.

"Kau pikir dengan kau yang selalu membenciku, aku akan tetap diam, begitu?! Kau salah besar, ROKY SHEAN! Bukan berarti kau melakukan seenak jidatmu aku akan diam saja!" teriak Ally marah. Ia kembali melempar beberapa gelas sebagai luapan emosi. "Dan kau pikir selama ini kau bersikap dingin padaku, kau sudah hebat?! Jangan karena aku diam dan tak pernah memaksa kehendakmu, kau melakukan hal yang di luar batas, Roky! Aku diam karena aku menghargaimu! Kapan kau menghargaiku?! Bantinglah barang sesukamu karena kau hanya bocah bodoh yang memanfaatkan kelemahanku! Kau licik!"

Terdengar kembali suara pecahan kaca dari genggaman tangan Roky.

"Berhenti melukai tanganmu, Roky!" Nicky mendekat, bermaksud untuk membersihkan darah segar yang keluar dari tangan Roky. Tapi Roky langsung mencegah dan membentaknya.

"Jangan mendekat! Aku tak sudi kau menyentuhku!"

"JAGA UCAPANMU, ROKY!" Ally kembali tersulut amarah. Roky tumbuh menjadi sosok yang kurang ajar, melebihi ia dulu.

"Kau pikir kau siapa yang berhak mengatur hidupku, hah?! Harus berapa kali kubilang aku membencimu! Jangan lupa kematian Colin karena kalian! Kau tahu ...." Roky bangkit dari duduknya, mendekati Ally dengan tangan yang berceceran darah dan rahang mengeras. "Kau penyebab kematian kakakku! Jangan lupakan fakta itu, ALLY WATSON!"

"ALLY SHEAN!" sanggah Ally. Ia marah. Ia bukan Ally yang bodoh lagi. Ia meyakini namanya tetap menjadi bagian dari sosok yang tetap di hati. Sebesar apa pun Roky membencinya, ia tak akan lagi mengubah nama itu di hidupnya.

"Ally Shean? Sejak kapan namamu berubah? Bukankah kau bilang kau ALLY WATSON! Kenapa harus nama belakang kakakku yang kau pakai?" ucap Roky dengan nada mengejek. Ia senang melihat ekspresi Ally yang diam dan menahan amarah. "Oh, aku tahu! Apa karena kau yang membuat kakakku meninggal, jadi kau mengganti namamu agar dia kembali hidup? Kau memang munafik, Ally! Sebenarnya kau bahagia dengan kematian kakakku! Kau pura-pura menangis dan menyesal! Ck, orang sepertimu terlalu banyak di dunia ini!" Ia kembali merendahkan Ally. Wanita ular itu berhak mendapat semua penghinaannya. Sudah lama ia ingin meluapkan kebenciannya lagi. Sudah lama ia ingin membuat wanitu itu sadar posisinya yang tak memiliki posisi apa pun di keluarga ini. Kasus kematian Colin sudah mengubah semuanya. Keluarga ini tidak lagi utuh. "Kau pasti bahagia karena rencanamu sudah berhasil. Dalam hatimu kau berteriak senang, Ally!"

"Dan kau pasti sudah tahu alasan aku membencimu! Ya, pasti kau sudah tahu. Atau mau kuberi tahu lagi agar kau tahu seberapa murahannya kau?!" Roky mendorong pundak Ally hingga terdorong.

"Kau rela bekerja sama dengan si brengsek Damien demi menghancurkan kakakku! Hal yang paling tidak kumaafkan adalah kakakku mati di depan mataku! Aku membencimu Ally! Aku membencimu!" teriak Roky kalap dengan mata memerah menahan tangis. Ia tak akan lupa bagaimana ia melihat Colin dengan tubuh lemah dan darah terus mengaliri tubuh tak berdaya itu. Ia tak akan lupa bagaimana penghinaan Ally sebelumnya pada Colin. Ia tak akan pernah lupa hingga kematian menjemput.

"Aku menyayanginya dan kau menjauhkanku dari dia. Aku tidak ada siapa-siapa lagi di dunia ini. Bahkan Emma pun pergi. Apa kalian ingin membunuhku perlahan? Bahkan kakakku saja tak pernah mengganggapku. Bagaimana dengan orang lain?" lirihnya. Ia terduduk di lantai dengan mata melirik Nicky. Ia merindukan rumah dengan sosok yang amat menyayanginya, ia bahkan ingin kembali ke masa kecil yang hanya ada ia dan Colin. Demi Tuhan, ia tidak membutuhkan siapa pun lagi. Seperti yang pernah ia katakan, ia lebih baik mencari keluarga baru daripada terkurung di sangkar hitam ini. Sayangnya, itu tidak akan terjadi. Colin sudah pergi jauh.

"Seharusnya dia mendampingiku saat aku mengambil raport sekolahku. Seharusnya dia yang menemaniku saat aku sudah resmi menjadi bagian dari Shean's Company. Seharusnya dia di sampingku saat aku ingin membangun kerja sama antar beberapa pihak. Tapi itu semua musnah! Kalian ... kalian ..." Roky memejamkan mata. Bahunya bergetar, menangis. "Fuck! Kalian merusak semua kebahagiaanku! Kau tidak tahu bagaimana kehilangan orang yang kalian sayangi! Aku sudah cukup menderita, kau tak tahu bagaimana kasih sayangnya yang tak terhingga padaku! Hanya dia yang tulus mencintaiku!" teriak Roky sampai ruangan yang tadinya sepi kembali bergema. Matanya memerah, rambutnya acak-acakan. Darah segar terus menetes dari telapak tangan.

Ally dan Nicky menangis sesegukan. Yang diucapkan Roky semuanya benar. Karena merekalah, Colin pergi. Karena mereka, Colin tak ingin kembali dan berjuang di ambang kematian.

"Sampai kapan pun aku tak akan memaafkan kalian! Kenapa kalian harus ada?! Kenapa?!" Roky memukul kaca di belakang Ally bertubi-tubi. Ingin sekali ia meninju Ally dan Nicky bersamaan, mematikan mereka dalam sekali cengkraman.

"Please stop, Roky!" Ally mendekati Roky dengan air mata masih bercucuran. Sedangkan Nicky tak menyangka bahwa hari ini mereka bertengkar hebat.

***

30 minutes ago.

Sampai di rumah, merasakan sakunya bergetar, Roky mengambil benda persegi itu yang menampilkan panggilan masuk dari asistennya, segera menerima panggilan.

"Halo?"

"Mr. Shean, saya sudah menemukan sedikit bukti tentang Alex Lincoln."

Roky tersenyum puas. "Besok beritahu aku. Jangan sampai siapa pun bahkan kakak-kakakku tahu apa yang kurencanakan. Biarkan saja, aku ingin melihat mereka menderita." Tak tanggung-tanggung, ia mengungkapkan kebenciannya. David pun tahu betapa bencinya ia kepada mereka. Sejak usia dini, Davidlah yang mendampinginya atas arahan Rilland melalui Steven. hubungan keduanya cukup akrab, bahkan rencana-rencananya, David tahu.

"Baiklah Mr. Shean. Saya tidak akan memberitahu mereka."

"Bagus!" Roky langsung memutuskan sambungan dan terkejut mendapati Ally tengah menatapnya garang.

"Kau ingin membuat kami menderita? Apa maksudmu?" tanya Ally sinis. Ia tak menggubris dan langsung pergi menuju ruang kerja. Ia menulikan pendengaran saat Ally masih mendesak untuk menjawab pertanyaannya.

Ally mengikuti Roky sampai ke ruang kerja dan membanting pintu dengan keras hingga Nicky yang awalnya tidak tahu, segera mencari asal suara dan mendengar Ally berteriak dari dalam ruangan Roky.

"Katakan padaku apa yang kau rencanakan!" pekik Ally. "Jangan pikir aku tak mendengar semua kata-katamu, Roky! Berhenti menjadi bocah menyebalkan!" Roky tetap tak peduli dan memilih mengerjakan pekerjaannya dan menganggap Ally tak ada.

"Katakan!" desaknya. Ia mendengar seluruh perbincangan Roky. Ia dengar dan kesabarannya menipis tatkala Roky ingin menghancurkannya. Walaupun ia membiarkan Roky melakukan apa pun, tapi ia tak akan membiarkan Roky berani menghancurkannya. "I know, kau takut rencanamu busukmu terbongkar untuk menguasai rumah ini. Dulu memang aku tamak, sekarang setelah Colin pergi, kau pula bertingkah! Ck ... menjijikkan!" Nicky yang mendengar perdebatan itu dari depan pintu segera masuk dan melihat Ally meluapkan amarah kepada Roky yang terlihat tidak peduli.

Emosi Roky tersulut. Ia masih diam dengan genggaman di bolpoin semakin erat, bak inin mematahkannya.

"Kau semakin tamak, kurasa Colin pun akan membencimu!" Ia membanting bolpoin untuk menghentikan ucapan pedas Ally, namun tak kunjung dilakukan. Ally masih merocos, hingga emosinya semakin meningkat, berakhir dengan menyakiti diri agar mulut busuk itu diam dan ia yang membungkamnya.

***

Roky menunduk dengan tangan di dalam genggaman Ally. Ia sudah pasrah dengan apa yang ingin mereka lakukan. Untuk hari ini, biarlah mereka berkuasa. Tapi tidak untuk di lain hari. Ia lelah, marah apalagi kelemahannya sudah mereka ketahui.

Nicky mendekat dengan membawa kotak obat dan membantu Ally untuk mengobati luka Roky yang semakin melebar.

Tanpa mereka sadari, Roky tersenyum sinis. Sebesar apa pun mereka berusaha mengambil hati, tak akan pernah ia memaafkan dua iblis ini. Tak akan pernah ia luluh dengan sikap yang semakin hari semakin menjijikan. Ia bukan sosok baik seperti Colin. Ia pendendam dan mereka akan merasakan balasan yang setimpal.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Timeless (Sequel Hopeless) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang