48) Demand

3K 317 75
                                    

Warn; it's gonna be long! Over 5000 words!

'Sometimes, i feel like i don't need a plan. But now, i think i have to.'

Author POV

Disini ia menyadari sesuatu, entah sejak kapan tapi senyuman itu bisa terasa begitu menenangkan. Mungkin memang bila diakumulasikan, jumlahnya tak bisa dikatakan sering. Tapi ia berani bertaruh kalau itu memberi banyak dampak. Seakan tak mementingkan apapun, bahkan jika hujan mengalir turun berubah menjadi sebuah air mata yang penuh rasa sakit atau sampai seluruh dunia berubah, tak masalah selama ia masih bisa melihat senyuman itu.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana bila suatu saat keadaan mengharuskannya untuk pergi meninggalkan sosok si pematri senyuman itu? Apakah ia bisa melakukannya? Bahkan jika itu adalah keputusan yang sangat sulit. Pada kenyataannya, bukan hanya disuruh memilih tapi dia memang harus menerima apapun yang diberikan padanya. Tak peduli dirinya masih ingin memilih keputusan yang lain.

Sampai tak sabar menantikan keajaiban, hati kecilnya ikut berkata bahwa ini sesuatu yang mustahil. Dia tidak akan bisa menentang karena memang selama ini ia selalu hidup dalam sebuah peraturan bodoh. Dan dungunya lagi, ia hanya diam mengikuti alur yang disuguhkan tanpa sempat melakukan protes atau sekedar memberi saran mengenai keuntungan yang ia dapat. Bahkan seorang artis bisa menolak skenario bila di rasa kurang pas.

Hal ini menyakitkan, sungguh. Dia takut, teramat dalam hingga rasanya seperti diremas dalam hati yang kalut. Berkali-kali mencoba untuk menghentikan perasaan ini, menyembunyikan perasaan ini lagi, tapi orang itu selalu datang dan berada disampingnya. Berbagai perangai gila berkerumun menghasilkan perangkap dan berhasil mendapatkan dirinya yang lemah. Mungkin nanti dia akan mendapatkan sebuah hukuman karena tidak bisa memilih dengan benar. Tapi percayalah, apapun keputusan yang akan ia pilih itu bukanlah keputusan yang ia inginkan sebenarnya. Mirip halnya dengan memanipulasi, demi bisa menjalani kehidupan yang lebih baik lagi maka dia sanggup walaupun harus memilih pilihan yang salah.

Termasuk bila disuruh untuk meninggalkannya.


***

"Oy, Choi Yuna. Kau tidak berencana untuk membuatku sesak nafas, bukan?" olok Eunha ketika ia merasakan dekapan gadis disampingnya itu bertambah erat.

Mereka tengah menghabiskan waktu bersama dirumah Yuna. Tadinya, Jimin bersikeras ingin melakukan tujuannya seperti biasa. Apalagi kalau bukan menginap atau sekedar mengunjungi rumah kekasihnya itu. Tapi Yuna buru-buru mengubah raut wajahnya menjadi lebih menyeramkan berkali lipat. Ditambah dengan ancaman yang biasa ia berikan, alhasil usahanya membuahkan hasil. Jimin pergi dan membatalkan niatnya.

Ini semua tentu ada alasannya. Kalau saja Eunha bukan teman yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri, mungkin gadis bertubuh pendek itu sudah menerima garis keras berupa larangan untuk menginap malam ini. Eunha menceritakan sesuatu yang sangat penting pada Yuna. Dia tahu ini bukanlah hal yang patut untuk disembunyikan. Tapi mentalnya tidak cukup besar untuk mengambil keputusan guna mengumbarnya dengan gamblang.

Yuna berdecih, posisi mereka sedang berbaring diatas ranjang sambil berpelukan satu sama lain. Gadis itu baru menyadari jika tubuh mungil Eunha terasa begitu hugable untuk seukurannya. "Memangnya kau harus melakukan itu? Pendidikanmu disini tinggal sebentar lagi."

Yang diajak bicara hanya bisa tersenyum kecil, mematri wajah senormal mungkin sementara Yuna sudah menunjukkan wajah sendu seakan ditinggal pergi sang kekasih. Eunha cukup peka mendengar perubahan nada biacara Yuna barusan. Eunha paham bagaimana perasaan gadis itu setelah ia menceritakan semuanya tanpa terkecuali.

Bunny Couple [Eunkook] | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang