2. Fired

848 57 0
                                    


Ify

Aku tersenyum menatap arlojiku ketika aku sampai di depan pintu masuk Zest. Sekarang jam setengah tiga, itu artinya aku hanya terlambat setengah jam. Kupikir Rio tidak akan marah karena setidaknya aku ada kemajuan walau sedikit. Tapi rupanya, itu sama sekali tidak berarti apa-apa di matanya.

Sekali terlambat maka tetap terlambat. Tidak peduli mau berapa jam atau berapa menit. Aku tetap dipanggil menghadap ke kantornya, dijamu dengan muka tampan tapi menyebalkan miliknya. Sayang sekali.

"Aku sudah memperingatkanmu bukan?" tanyanya dengan nada kemenangan. Sepertinya ia senang sekali akan memecatku.

"Tapi kali ini saya hanya terlambat setengah jam. Tidak bisakah anda menghargai kemajuan saya itu?" ujarku masih nekat membela diri.

"Kau ini masih saja membantah! Kau itu tetap saja terlambat!" Ia membalas tak terima.

Aku mendengus seperti yang sudah biasa aku lakukan kalau harus beradu mulut dengannya. "Pak, minyak tidak bisa langsung menjadi panas. Ia harus dipanasi dengan api beberapa menit agar bisa digunakan untuk menggoreng. Nah, begitu juga saya. Saya tidak bisa langsung datang tepat waktu hanya karena kemarin anda sudah menegur saya. Saya juga butuh waktu, sama seperti minyak itu."

"Kau ini keturunan presenter ya? Ckck, pandai sekali kau bicara."

"Bukan. Tapi, kalau Bapak ingin membuka stasiun TV dan membutuhkan saya sebagai presenter, saya sih siap-siap saja." Sahutku asal yang langsung menyulut emosinya.

"Kau!" bentaknya berikut dengan kebiasaannya menggebrak meja. Ia lalu mendengus. Hei! Itukan kebiasaanku!

"Sudah, aku sudah bosan menghadapimu." Lelahnya.

"Yasudah, suruh saja saya keluar dari kantor anda ini sekarang. Biarkan saya kembali bekerja daripada anda muak melihat wajah saya terus-terusan."

Dia melirik kesal padaku seraya mencibir tapi tidak mengatakan apapun. Ia lalu menyodorkan sebuah amplop. Firasatku mendadak tidak enak. Apa dia benar-benar memecatku?

"Itu gajimu bulan ini dan bulan depan. Mulai hari ini kau sudah bukan karyawan di restoran ini." katanya dengan nada yang benar-benar menyebalkan di telingaku.

Aku memandang wajahnya yang tidak kelihatan iba sama sekali. Aku yakin, dia adalah tipe bos yang suka memecat karyawannya dan aku adalah orang pertama yang kebagian sial. Aku bergeming memandang wajahnya dan amplop di depanku bergantian karena bingung.

"Kenapa sekarang kau diam? Mana bakat presenter-mu itu?" Mukanya kelihatan mengejek sekaligus meremehkanku.

Hatiku sakit mendapat perlakuan seperti ini. Tidak masalah kalau dia membentakku atau memarahiku atau melemparku dengan meja sekalipun. Tapi aku tidak terima jika direndahkan.

Dia pikir dia siapa? Dia pikir karena dia bos maka dia bisa sembarang menghina seperti itu? Apa dia tidak berpikir kalau pegawai adalah motor dari jalannya restoran ini? Siapa yang memikat pengunjung untuk datang kalau bukan pegawai? Siapa yang akan melayani dan mengantar pesanan pelanggan? Siapa juga yang akan memasak hidangan pelanggan? Pegawai, kan, Bukan bos? Bos kerjanya hanya menyuruh dan menerima uang setiap bulan.

Aku mendesah pelan serta memasang wajah dinginku dan menatap amplop di depanku lagi lalu mengambilnya. Aku tidak sudi mengemis-ngemis padanya. Cukup sudah harga diriku diinjak-injak. Aku tidak mau makin merendahkan diriku sendiri dengan memohon padanya.

Aku berdiri dan sedikit membungkukkan badan memberikan penghormatan terakhir. Bagaimanapun, dia bos ku, kan? Aku lantas menangkap ekspresi bingung di wajahnya.

"Terimakasih. Aku permisi." Tanpa banyak bicara akulangsung angkat kaki dari istana mininya itu. Yah, setidaknya aku tidak akandipanggil lagi ke dalam sana dan tidak akan mendapat teguran-teguran lagikarena terlambat.    

CUPIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang