Ify
Semuanya dimulai sekarang. Ini adalah jalan pertama aku berusaha menyatukan Rio dan Shilla. Sebenarnya aku tidak yakin Shilla akan bisa cepat jatuh hati pada Rio.
Kami berpisah setahun lebih karena dia kuliah di luar negeri. Jika dia belum berubah, dia mungkin saja suka pada Rio. Karena dulu dia sempat mengatakan padaku, tipe pria idamannya adalah pria yang tampan, sedikit berantakan tapi tetap rapi dan tidak banyak bicara.
Dua poin sudah dimiliki Rio. Hanya saja, kalau untuk irit bicara aku tidak yakin. Meski aku sudah memintanya untuk berpura-pura seperti itu ketika bertemu kami nanti.
Aku mengajak Shilla pergi ke mall alih-alih sebagai salam kangen setelah lama kami berpisah. Lalu seperti yang sudah direncanakan, Rio akan muncul di tengah-tengah kami dengan kedok ketidaksengajaan.
Dan rencana itupun berhasil. Sangat-sangat berhasil sampai aku merasa transparan di antara mereka berdua. Mereka seperti lupa akan kehadiranku. Tapi ya, baguslah. Setidaknya langkah pertama sukses.
***
Rio
Aku berdiri bersandar di depan meja panjang tempat memesan makanan jika tidak ada pelayan yang datang tanpa melepas pandanganku ke arah pintu. Ini sudah jam tiga lebih dan Ify belum juga datang.
Wanita itu benar-benar picik. Seenaknya saja dia memanfaatkan keringanan yang kuberikan. Kalau saja aku sedang tidak membutuhkan bantuannya, aku pasti akan menuntutnya secara hukum. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku sebegitu tidak suka padanya. Ia hanya salah sedikit tapi dimataku ia seperti sudah membunuh seratus manusia.
Tada!
Akhirnya pintu terbuka dan sosok 'yang kutunggu' muncul dari balik sana. Aku melihat ada yang sedikit berbeda dengannya. Dia tidak selincah biasanya. Bukan berarti aku selalu memperhatikannya ya makanya aku bilang dia berbeda dengan biasanya.
Gerak kakinya lamban dan jalannya juga tidak fokus. Dan satu hal yang paling mencolok di dirinya adalah bajunya. Bercak-bercak dibajunya itu hanyalah corak atau itu memang noda bekas darah?
Aku menahan bahunya ketika dia hendak berjalan melewatiku. Dia tampak berjengit. Sepertinya dia terkejut melihatku. Kemungkinan dia baru menyadari keberadaanku. Ck, dia memang berbeda. Tapi, yah, aku tidak perlu ikut campur sampai bertanya dia kenapa.
"Kau bahkan sudah terlambat satu setengah jam. Kau jangan melunjak ya! Aku hanya mengompensasi satu jam keterlambatan."
Ia tampak diam seperti memikirkan perkataanku. Ia tampak tidak begitu mengerti. "H—hah? Oh..ya..aku minta maaf.." lirihnya.
Aku mengernyit memperhatikan wajahnya yang baru kusadari terlihat pucat. "Kau..baik-baik saja, kan?" Pada akhirnya aku bertanya. Tapi setidaknya aku tidak bertanya kenapa.
"Boleh..aku mengganti bajuku dulu?"
***
Rio
Aku memandangi wajah pucat Ify yang kini terbaring di sofa ruanganku dan masih belum sadarkan diri. Beberapa saat lalu pegawaiku yang sama-sama berada di ruang ganti bersama Ify tiba-tiba menghampiriku dan mengatakan Ify pingsan. Katanya, Ify sebelumnya sempat mengeluh pusing dan merasa badannya lemas hingga akhirnya dia benar-benar tumbang dan dibawa ke ruangannya.
Kalau dilihat-lihat, dia punya wajah yang seksi....apa tadi kubilang?! Sepertinya keadaanku juga sedang tidak baik.
"Sss..."
Syukurlah, Ify sudah mulai siuman. Setidaknya itu cukup untuk mengalihkan pikiran gila dalam kepalaku. Aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
"Kau pasti lapar, kan? Ckck, kau ini tidak henti-hentinya merugikanku." Aku mengambil semangkok bubur yang kuminta pada pegawaiku tadi saat Ify masih pingsan.
"Kurasa yang kau pikirkan di dunia ini hanyalah soal untung dan rugi." Sahutnya lemah. Dia tampak berusaha duduk dan menyandarkan tubuhnya. Dia memandangku dengan pandangan yang tak ku mengerti. Dia seperti sedang menyelidiki diriku.
Aku lantas mengangkat tanganku dan berniat menyuapinya. Ify memandang tangan dan wajahku bergantian dalam diam tanpa merespon apapun. "Kau jangan berpikiran macam-macam. Aku yakin tanganmu masih lemas dan tidak sanggup memegang sendok. Jadi daripada bubur ini tumpah sia-sia dan membuatku bertambah rugi, biar aku saja yang menyuapimu."
Dia mendesis sambil mencibir padaku. Meski kemudian, tanpa banyak protes lagi, ia membuka mulutnya dan menerima suapanku. Aku spontan tersenyum.
"Anak pintar!" Pujiku puas.
Tiba-tiba saja dia terdiam menatapku. Lalu tiba-tiba juga dia mengalihkan pandangannya dan merebut mangkok yang kupegang berikut sendoknya.
"Aku makan sendiri saja." Katanya sebelum aku bertanya. Aku hanya mengedikkan bahu lagi-lagi tidak ingin terlihat ingin tahu.
"Kenapa kau terlambat begitu lama?" Aku memutuskan mulai mencari tahu.
Dia melirikku sekilas lalu menjatuhkan pandangannya ke bubur di tangannya. "Tadi ada bapak-bapak yang ditabrak mobil. Aku menemaninya dibawa ke rumah sakit sekaligus mendonorkan darah untuknya. Kebetulan stok darah AB habis."
Aku sesaat terdiam tak tahu harus berkomentar apa. Antara kagum tapi juga merasa aneh terhadapnya. Dia itu bodoh, naif atau bagimana? Dia tidak peduli bahwa dia bisa saja kehilangan pekerjaannya. Bukan berarti aku menyalahkan jasanya menolong si bapak. Tapi, dalam suatu kecelakaan pasti bukan hanya ada dia sendiri kan? Akan ada banyak orang yang berdatangan. Dia bisa membiarkan orang lain saja yang membawa bapak-bapak itu ke rumah sakit. Dia tidak perlu memaksakan diri. Sama seperti kejadian ice cream beberapa hari lalu. Dia sempat tidak mau menerima uangku padahal ia tahu ia akan merugi. Ckck, aku dan dia benar-benar bertolakbelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUPID
Short StoryDemi mempertahankan pekerjaannya, Ify harus berusaha membantu Rio mendapatkan Shilla. Lucunya, Shilla juga memintanya membantu memperbaiki hubungan wanita itu dengan Cakka sementara Cakka justru berbalik mendekatinya. Sebagai pelengkap siklus, Ify t...