11. Sekedar Rindu

720 45 2
                                    

Kasian juga ini ga di apdet2. Mumpung sekuel MM belom dapet pencerahan..
Btw.....KEVIN OUT GUYS yaampun sedih. Chris brown kw eyke gaada lagi😭😭😭😭😭😭😭😭😭

***

Ify

Ini adalah pertama kalinya kami ehm..aku dan Rio, duduk berhadap-hadapan dan bertatap-tatapan dengan damai tanpa keributan yang kami ciptakan sendiri. Ini sudah beberapa menit pasca ciumannya yang menggiurkan (ya Tuhan) dan aku masih belum bisa melupakan rasa bibirnya dari benakku.

Astaga, jatuh cinta juga membuatku murahan begini.

Tunggu, tolong jangan hanya menyalahkan diriku. Lihat Rio! Dia sampai sekarang masih seenaknya menangkup wajahku dengan satu tangannya. Sesekali dia merapikan anak-anak rambutku yang maju melewati garis telinga. Jangan lupa dengan tatapan teduhnya yang memintaku ingin dinikahi.

Apa jangan-jangan semalam dia menghisap ganja atau menghirup kokain? Atau dia habis minum-minum dan mabuk saat ini? Apa dia mengira aku Shilla? Aw..hatiku kok sakit memikirkan yang satu itu..

"So, kenapa kau menangis malam 'itu'?" Rio memajukan kembali tubuhnya ke arahku sambil tiba-tiba bertanya.

Pertanyaannya terasa ganjil bagiku. Mungkinkah dia melakukan 'yang aku sih mau itu', alias ciuman, hanya untuk menebus rasa penasarannya?

Aku tidak langsung menjawab. Aku diam memandangnya sekaligus mencoba menilai sendiri apa yang sedang disembunyikan Rio. Sayangnya, aku tidak mahir soal beginian. Aku sama sekali tidak mengerti, yang kulihat hanya wajahnya yang tampan, yang berbaik hati memberikan senyum lembutnya padaku. Sial.

Kapan, sih, aku berhenti memujinya?

"Semua ini...apa ada artinya?" tanyaku tak yakin. Suaraku terdengar makin senyap karena gemuruh dalam dadaku yang mendadak hadir.

Ini akibatnya kalau aku terlalu terlena dengan hal-hal yang ku artikan sendiri sebagai kebaikan. Ini akibatnya kalau hati yang maju duluan sementara otakku ketinggalan di laci meja.

"Aku...tidak tahu,"

"As$h0le!" Lidahku berucap begitu saja tanpa bisa kutahan. Aku keceplosan mengumpatnya sekaligus mengumpati diriku sendiri yang malang. Bagus sekali, aku mengharapkan hal yang tidak ada dan tidak akan pernah ada.

Oh, tidak. Tisu-ku semalam habis dan belum ku ganti dengan yang baru dan aku juga belum siap menangis lagi. Astaga, aku bisa mati kalau begini.

Aku menepis keras tangannya dari wajahku. Aku mengambil gelas kosong di meja asal dan membawa langkahku menuju dispenser yang ada di dapur. Aku butuh air, masuk ya bukan keluar (alias menangis).

Aku merasakan hawa gelap di belakangku dan aku tahu siapa itu. Ya siapa lagi selain Rio? Aku hanya diam dan berkonsentrasi minum semampuku. Air yang kutelan terasa pahit karena lidahku yang hambar, atau mungkin juga karena terbawa perasaan.

Aku meletakkan gelas yang sudah kembali kosong ke sembarang tempat lalu berjalan kembali ke meja makan. Tidak, sepertinya sebaiknya aku lanjutkan saja menuju kamar.

"Nanti akan ku makan. Kau, pulanglah. Terimakasih sudah datang," ujarku selagi masih berjalan tanpa ada niat memandang ke arah Rio lagi.

Aku tidak butuh melihatnya. Aku tidak butuh mendengarnya bicara (yang membuatku pusing sendiri). Aku hanya butuh kasur dan tidur untuk melupakan apa yang telah terjadi beberapa saat lalu. Tidak, seharusnya memang tidak ada yang terjadi beberapa saat lalu. Aku hanya perlu makin meyakininya saja.

***

Rio

Tidak. Aku tidak sedang mabuk atau high. Aku sadar sesadar-sadarnya, kalau kalian bertanya. Aku mencium Ify karena aku menginginkannya ehm..maksudku benar-benar ingin menciumnya, bukan menginginkannya yang seperti itu..ah, kalian mengertilah, kan?

Aku tidak suka dia meragukanku. Lebih tidak suka lagi dia menghindariku. Kucium agar dia menurut nyatanya sekarang dia sudah melanggarnya kembali. Tapi, yah, kapan sih dia anteng saja setiap ku perintah?

Aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba (seperti) marah. Aku tidak berbohong. Aku tidak bodoh. Aku mengerti dia tadi menanyakan perasaanku. Aku sungguh tidak tahu kalau untuk yang satu itu. Melihatnya pagi ini mengingatkanku akan wajah pilunya malam itu yang membuatku kesal karena aku tidak di sampingnya, ditambah ada orang lain yang menggantikan tugasku..eh, tugasku?

Malamnya, aku jadi tidak tenang. Aku bahkan meneleponnya tapi sayang nomornya tidak aktif. Aku tidak sempat bertukar ID untuk aplikasi chat. Aku menunggunya keesokan hari tapi dia tidak muncul. Surat sakitnya saja yang datang kepadaku. Pikiranku makin terasa tidak benar. Aku benar-benar butuh bertemu langsung dengannya.

Sekarang aku sudah hadir di hadapannya tapi dia menghindariku padahal dia sudah tampak luluh sebelumnya. Cepat-cepat kuraih lengannya dan menahan tubuh pucat itu agar tidak kabur ke sana kemari.

"Mulut diciptakan untuk berbicara yang kau tahu dan bertanya yang tidak kau tahu." Ucapku berusaha tetap merendahkan suaraku.

Tadi dia seperti marah dan terluka karena diriku. Setelah kuberikan kesempatan berkeluh kesah, dia justru diam dan memandangku lurus. Maunya apa sebenarnya?

"Aku tidak suka cinta bertepuk sebelah tangan. Kau adalah kandidat nomor satu untuk itu. Aku sudah cukup tahu diri. Kalau kau masih kesal padaku dan berniat balas dendam, tolong jangan menggunakan perasaanku. Aku tidak masalah bila memang harus berhenti bekerja dari kantormu sekarang. Tenang saja, aku akan tetap membantumu mendapatkan Shilla. Kau pantas untuknya, dia juga pantas untukmu. Aku— "

"Apa ucapanku sesulit untuk kau mengerti? Bicara kalau tahu, bertanya kalau tidak tahu. Kau, sudah tidak tahu, tidak bertanya, tapi dengan percaya diri berbicara."

Ify memang berbakat menjadi presenter. Dia bahkan bisa memikirkan kalimat sepanjang itu untuk diucapkan padaku hanya dalam beberapa menit. Hebatnya lagi adalah, dia masih bisa berpikir dengan baik ketika aku menatapnya intens. Apa dia sama sekali tidak terpesona denganku? Cih, dia berbicara cinta bertepuk sebelah tangan sementara dia sendiri tidak terpikat padaku. Ah, jangan-jangan dia membalas ciumanku tadi hanyalah perasaanku saja karena terlalu antusias?

"Oke. Kalau begitu katakan, apa yang perlu aku tahu?" Tanya Ify yang tanpa disangka-sangka mengalah.

Entah kenapa, aku senang menyaksikan kedua matanya menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku tidak tahu apa aku senang dengan caranya menatapku atau karena dia hanya menatap ke arahku bukan yang lain. Kenyataannya, memikirkannya dalam kepalaku membuat dadaku terasa ringan.

"Kupikir aku hanya...merindukanmu."

***

Doain dong, minggu depan revisi bisa selesai hiks. Gue telah lelah gabut begini..

CUPIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang