9. Menghindari Sakit dengan Sakit

661 47 2
                                    


Ify

Bodoh. Aku benar-benar bodoh. Mengakui Cakka sebagai pacar lalu kemudian menangisi laki-laki lain dalam pelukan pemuda itu. Bagaimana bisa aku menangis hanya karena kata-kata kejam yang sudah biasa Rio katakan padaku? Dan kenapa disaat itu hanya Cakka lah yang ada di sampingku?

Karena kebodohanku itu, Cakka semakin besar kepala. Dia makin bertingkah sejak aku mengakuinya sebagai pacarku di depan Rio. Walau aku sudah menjelaskan alasannya bahkan dia sendiri melihatku menangis karena Rio, sepertinya dia tetap tidak peduli.

Aku sudah membuat Cakka dan Rio salah paham. Atau mungkin hanya Cakka. Karena informasi aku sudah punya pacar atau belum tidak ada artinya untuk Rio. Kecuali jika Shilla yang diberitakan maka akan lain ceritanya.

Ah, dadaku masih saja nyeri setiap mengingat ucapan Rio terakhir kali. Apa jangan-jangan Rio tahu kalau aku menaruh hati padanya jadi dia ingin menyindirku secara halus? Atau mungkin kasar. Aku benar-benar frustasi dengan perasaanku ini.

Kenapa sekalinya jatuh cinta tapi pada cinta yang tidak akan kesampaian? Seluruh rasa tahu diriku rasanya makin netral saja. Toh, aku malah makin sering membayang-bayangkan Rio dalam kepalaku.

Alhasil apa yang kulakukan sekarang? Menghindar dari Rio karena tidak sanggup menghadapi pemuda itu. Terbukti ini adalah hari kedua aku bolos kerja dengan alasan sakit. Aku tidak benar-benar bohong sih. Hari pertama aku memang pusing berat setelah menangis bodoh selama berjam-jam.

Dan sekarang aku beralasan harus istirahat untuk memulihkan keadaan. Aku sempat ke dokter karena pagi setelah aku menangis suhu tubuhku naik. Dokter memberikan surat agar aku diizinkan beristirahat selama 3 hari.

Mengingat tinggal besok kesempatanku lari dari Rio membuatku ketar-ketir. Reaksi apa ya yang akan ditunjukkan Rio? Apa Rio rindu padaku? Tapi itu mustahil, sih. Kalau rindu pada Shilla pasti iya. Kalau padaku dia paling hanya marah-marah karena selalu dan selalu saja membuatnya rugi. Pernah tidak sih dia sekali saja tidak hitung-hitungan rugi padaku?

Tingtong! Tingtong!

Sekarang masih pukul setengah 8 pagi dan sudah ada yang bertamu. Apa ada tetangga yang baru pindah? Ah, tidak mungkin. Di sebelah rumahku tidak ada rumah kosong atau kontrakan atau kost-kost-an.

Mungkin jika aku mengabaikannya dia akan pergi. Maaf sekali tamuku, bukan aku tidak mau menjamu, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Aku juga tidak akan bisa menjamu dengan baik.

Tingtong-tingtong-tingtong-tingtong-tingtong!

Demi uang seribuku yang telah lama hilang, siapa si kurang ajar yang menekan bel rumahku? Awas saja kalau kau bukan orang penting.

Aku memijat keningku mencoba mengurangi rasa berdenyut di kepala. Dengan merapikan rambutku seadanya, aku beranjak dari kasur sekaligus berjalan keluar kamar hingga sampai di depan pintu. Dan asal kalian tahu, tamuku ini masih menekan bel berulangkali sampai sekarang. Dia terobsesi pada bel atau bagaimana?

Sepasang sepatu kets navy dan celana jeans abu-abu menjadi pemandangan pertama di mataku sebelum aku mengangkat kepala dan tampaklah wajah mempesona Rio. Laki-laki itu berdiri dengan gagah dengan senyuman menawan di depan rumahku, di hadapanku. Rasanya dokter memberikanku obat penurun panas bukan narkoba. Kenapa khayalanku terasa makin nyata begini?

"Hai!" Sapanya riang.

Aku mengedipkan mataku beberapa kali menyadari apa yang aku lihat sekarang ini bukan sekedar halusinasi. Rio benar-benar ada di hadapanku, menjengukku..mungkin.

"Kau..sedang apa?" tanyaku bingung dengan suara serak khas baru bangun tidur. Rio mendecak pelan lalu tiba-tiba mengacak rambutku.

Ya Tuhan! Ada teroris! Ada teroris yang menaruh bom dalam dadaku! Tapi aku tidak merasa pecah berkeping-keping. Bom itu justru membawaku terbang ke langit.

"Hei, kenapa kau malah diam? Aku sudah berusaha keras mengosongkan jadwalku supaya bisa menjengukmu. Aku juga membawa bubur untuk kau sarapan. Kau pasti belum makan kan? Ah, astaga! Jangan-jangan benar kau sakit parah?"

Belum sempat aku menjawab rentetan kalimat ajaibnya, Rio kini meletakkan tangan halusnya di keningku memastikan suhu tubuhku. Membuatku merasa terbang semakin tinggi saja.

Mendadak aku tersadar sebelum terbang terlalu jauh. Aku kan tidak menyediakan landasan yang empuk. Kalau tiba-tiba jatuh kan sakit. Aku tidak mau menangis bodoh lagi setelah kemarin. Apalagi kalau sampai menangis langsung di depan sumber masalahnya (maksudku Rio).

Aku menurunkan sekaligus menjauhkan tangan Rio dari wajahku. Sekalian diam-diam mencuri kesempatan untuk merasakan betapa lembutnya tangan itu. Akan ku simpan baik-baik dalam ingatanku.

Aku mengambil alih bubur yang dipegang Rio lalu membungkukkan badan sekilas sebagai rasa terimakasih. "Pulanglah, pasti banyak hal yang lebih penting yang harus kau kerjakan. Terimakasih sudah datang."

"Tenang saja, aku tidak akan merepotkan!" Jawabnya dengan cengiran lebar. Aku berkedip takjub ke arahnya. "Ayo sekarang kita sarapan!"

Belum sempat aku buka suara, ia buru-buru mengambil lenganku dan menarikku ke dalam rumahku yang dirasa seperti miliknya. Berhubung tubuhku sedang lemah jadi aku membiarkan saja dia membawaku. Karena rumahku kecil jadi beberapa langkah saja aku dan Rio sudah sampai di meja makan. Ia lantas menyuruhku duduk dan dia sendiri sibuk membuka bungkusan bubur.

Aku menjatuhkan kepalaku ke meja dan menggunakanpipiku sebagai pondasi. Aku menutup mataku dan mencoba kembali tidur. Selainlemah dan pusing, kebetulan aku memang mengantuk saat ini. Rasanya tak butuhwaktu lama hingga aku benar-benar masuk ke alam mimpi.

CUPIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang