Dua Cowok Rusuh

355 51 82
                                    

       

       "Dengar baik-baik untuk kalian!" Ketua OSIS berdiri di depan para calon siswa yang berbaris di tengah lapangan. Matahari mulai menampakan sinarnya saat hujan mereda setelah turun beberapa jam yang lalu.

       "Ini adalah contoh yang tidak baik untuk ditiru. Bagaimana bisa mereka berbuat ulah di saat masa orientasi dan akhirnya mencelakai orang lain," cercanya pada dua siswa laki-laki di sampingnya.

      Semua siswa menatap pada dua lelaki itu yang tampaknya sudah malu setengah mati. Mereka adalah Revano dan Mahesa. Cowok yang membuat kepala seorang gadis tertimpuk sepatu milik Revan. Kini, mereka  dihukum di depan semua orang, membuat Revan benar-benar ingin memiting kepala sahabatnya, gara-gara cowok berambut coklat gondrong itu ia harus terseret ke dalam hukuman seperti ini.

     "Untuk kalian berdua, jongkok!" Ketua OSIS berseru tegas. Tanpa menolak, keduanya berjongkok.

     "Terus, angkat tangan kalian ke atas!" titahnya lagi dan diikuti oleh kedua cowok itu. Dalam kediaman mereka berdua, ada rasa yang dirutuki masing-masing. Mata keduanya mendelik tak suka pada si ketua OSIS.

      Cih, baru jadi ketua OSIS angkatan pertama saja udah belagu. Lihat aja nanti! Gue gantiin loh jadi ketua OSIS sampai akhir sekolah.Mahesa bersengit dalam batinnya. Kesal akan perlakuan Kakak osisnya itu.

      Gara-gara lo, kampret. Gue dipermalukan kaya gini. Awas aja! Gue ulek muka lo biar gak bule lagi. Tak kalah sengit Revano pun membatin dengan kesal.

      "Pegang kuping kalian masing-masing lalu, loncat di tempat sebanyak 10 kali!" Dan hal inilah yang kedua cowok itu benci. Merasa kesal tak terima, mereka pun berdiri membuat orang-orang di sana berseru riuh.

       "Kalian ngapain? Saya bilang jongkok dan lakukan hukumannya!" amuk ketua OSIS.

      Namun, keduanya berdecih, yang satu melipat tangan di dada dan yang satunya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana birunya. Sikap angkuh nan songong kedua anak itupun keluar.

      "Gue, bukan budak elo," ucap Revano sinis.

     "Apalagi gue. Elo, gak berhak suruh-suruh gue kayak gitu, yang boleh cuma guru atau orang tua gue," timpal Mahesa.

    Ketua OSIS pun naik pitam. Jengkel meladeni adik kelas yang wataknya seperti ini. Hukuman segitu saja sudah membuat rusuh dan bersikap songong layaknya mereka yang paling benar.

    "Oke, pertama. Gue gak bakal pakai bahasa formal. Dan yang kedua gue lepasin kalian dari hukuman ...." Ucapannya terhenti saat siswa lain menyorakinya penuh kagum.

     "Tapi ... kalian harus melakukan satu hal yang wajib kalian lakukan!" seru ketua OSIS tersebut. Kedua cowok itu saling tatap merasa bingung.

     "Apaan tuh?" tanya Revan sinis

     "Lo, minta maaf sama gadis yang tadi kena sepatu Lo." Lantas semuanya menoleh ke arah gadis yang tengah menunduk. Ia malu, kenapa harus diperpanjang.

     "Ah, kalau itu gue gak masalah," sahut Revano sambil melirik ke arah gadis itu.

     "Gue juga!" tambah Mahesa.

     "Baiklah, Salena!" Mendengar namanya disebut gadis itu benar-benar bingung harus bagaimana. Sebenarnya ia sudah melupakan kejadian itu, dan ia tidak butuh permintaan maaf mereka, tapi apa daya dia sudah benar-benar terseret ke permasalah ini.

      Gadis itu mengangkat wajahnya menatap lurus ke arah tiga orang cowok yang juga tengah menatapnya. Ia berdiri di barisan paling depan. Otomatis, mereka saling menatap secara langsung tanpa ada penghalang. Embusan napasnya terdengar kasar, ia terpaksa harus melakukannya.

     "Kamu ke sini!" Ketua OSIS itu menunjuk Salena, menyuruhnya maju ke depan.

      Dengan penuh keterpaksaan Salena menghampiri, Ia tidak suka menjadi tontonan seperti ini, berpuluh-puluh pasang mata kini tengah menatapnya dengan berbagai macam spekulasi. Berkali-kali ia mengeluh dalam benaknya berharap kejadian ini tidak pernah terjadi. Walaupun pada akhirnya dia berdiri juga bersama tiga cowok tersebut.

       "Oke, Salena sudah ada di sini, dan kita melakukanya seperti dalam peraturan." Ketua OSIS berucap dengan matanya yang tak lepas memandang Salena.

      "Ribet amat. Apaan lagi itu?" ucap kesal Revan

       "Gue akan tanya Salena dulu." Entah mengapa ketua OSIS itu selalu saja naik pitam jika menjawab pertanyaan Revan dan mahesa. Sampai ia benar-benar menggunakan kata tidak formal di depan adik kelas yang lain.

      "Salena, apakah tadi kamu menjadi korban dari ulah mereka?" Salena mengangguk, tanda "iya".

       "Oke, terus apa kamu marah atau sakit hati?" tanyanya lagi. Dan untuk kedua kalinya Salena hanya menjawab dengan anggukan.

       "Lantas apa yang ingin kamu lakukan pada mereka? Seperti memberi hukuman, mungkin." Kali ini Salena hanya menggeleng.

 Revan dan Mahesa tersenyum melihat tingkah gadis itu. Pertanyaan serius malah dijawab sekenanya oleh gadis berambut sebahu.

      "Kenapa?" Ketua OSIS menahan sabar.

      Namun, lagi-lagi dirinya harus mendapat jawaban yang menguras emosi.

      "Salena!" Ketua OSIS pun membentak. Semua orang tersentak. Wajah Salena kini terangkat, menatap lekat wajah cowok yang membentaknya. Revan dan Mahesa tidak menyangka, sosok OSIS yang harusnya bijak, justru memberi kesan tak mengenakan di depan semua adik kelasnya.

       Salena membeku.

       "Ma-maaf ... Saya, tidak se-ngaa-ja bentak kamu ...." OSIS yang ber- nametag— Aldric Cakrawangsa merubah nada bicaranya menjadi lirih. Sungguh! Kenapa emosinya harus terpancing hanya gara-gara gadis itu diam saja.

     "Saya ... hanya ingin kamu jawab dengan bicara, bukan dengan anggukan atau gelengan. Kalau begitu masalahnya tidak akan selesai." Aldric kembali ke sikap semula, berwibawa, dan tegas. Namun, Revan dan Mahesa masih tak percaya dengan cowok tersebut. Haruskah ia membentak seorang cewek apalagi di depan banyak orang. Ia waras atau tidak.

      "Hey!" Tangan Revan menyentak pundak Aldric. Cowok berseragam rapi itu menoleh sinis.

      "Apa-apaan ini?" Tidak terima atas sikap Revan, Aldric menepis tangan cowok itu. Semua murid menatap tegang pada mereka yang bersengit di depan. Anggota OSIS lain pun mulai melerai keduanya.

      "Elo, cowok apa banci, heh?" Dalam kunkungan tangan Mahesa, Revan meronta sembari memaki Aldric yang tengah emosi. Sementara, Salena masih terpaku di tempatnya, ia menatap orang-orang yang sedang melerai. Kemudian, tanpa peduli gadis itu pergi begitu saja. Tatapannya dingin, datar, tak ada ekpresi.

        "Sudah ... Sudah! Ngapain kalian berkelahi?" Dewa menarik lengan Aldric agar menjauhi Revan. Ia membentak keduanya. "Kalian, enggak malu dilihatin yang lain?" Sadar atas ucapan temannya, Aldric menarik napas dalam-dalam lalu, diembuskan. Ia meredakan emosinya yang meluap. Hampir saja ia kalap dan mencoreng nama baik ketua OSIS. Mau ditaruh di mana wajahnya ketika kesan jelek tersemat pada dirinya. Bahkan, bisa saja ia mendapatkan sanksi dan skors dari pihak sekolah.

       Lantas, ia pun menoleh pada Revan yang masih menatapnya garang.

      "Gue emang salah. Gue minta maaf sama kalian berdua kalau terlalu keras membimbing kalian. Selain itu, gue juga akan minta maaf pada Salena. Termasuk kalian berdua pun sama harus," ucapnya. Lalu, Mahesa  menggangguk setuju atas permintaan maaf Aldric, tetapi wajah Revan menunjukan ketidakmauanya untuk memaafkan. Ia masih menatap tajam cowok itu, bahkan bibirnya sempat menunjukan senyum sinis pada ketua OSIS.

       "Ayo Rev, kita pergi!" ajak Mahesa sambil menggandeng lengan Revan. Membawanya menjauh dari tatapan semua orang. Aldric masih terdiam, pikirannya berkecamuk dengan amarahnya ini. Bayangan gadis tadi masih berputar di kepalanya. Ada rasa salah dan khawatir di benaknya.

Saat wajah gadis itu terangkat dan menatapnya dengan lekat. Ada sensasi berbeda di dalam dada. Detak jantungnya tidak beraturan seperti ritme biasanya.

Terima kasih readers

SALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang