Peka

170 26 22
                                    


          Satu Minggu sudah berlalu sejak akhir dari Masa Orientasi Siswa. Dan semua siswa baru sudah mengikuti pelajaran biasanya. Termasuk melakukan  upacara hari Senin seperti sekarang.

Lapangan sudah dipenuhi barisan siswa setiap kelas dari tiga tingkatan. Terlihat seragam-seragam yang nampak cerah seperti baru. Ya, mereka adalah siswa-siswi baru di sekolah SMA Cakra.

Protokol sudah bersiap membacakan poin-poin di upacara tersebut hingga sampailah pada pengibaran sang bendera merah putih. Anggota paskibraka bersiap-siap merapikan barisan dan siap melangkah. Dody, si pemimpin paskibra mengomando pasukannya untuk maju jalan.

Hari yang cerah mendukung sekali untuk upacara ini. Apalagi melihat seragam-seragam putih siswa baru membuat setiap mata memicing, menyilaukan. Suara derap langkah anggota paskibra mendominasi lapangan yang nampak hening, tak ada seorang pun berani bersuara dalam keadaan seperti ini. Mata-mata mereka fokus menatap orang-orang yang berjalan tegap dengan tangan diayun-ayunkan serempak.

Lima orang dari anggota paskibraka adalah siswa baru yang tengah diuji kemampuannya dalam hal baris berbaris. Mereka terdiri dari; Laura, Eko, Adam, Nisya, dan Salena. Beberapa orang berbisik mengetahui siapa saja yang langsung diajak masuk dalam pelatihan. Ada yang bilang beruntung, memuji, bahkan menyinyir. Mereka yang menyinyir menyangka ada hal-hal yang mencurigakan dari pemilihan lima orang tersebut.

Seperti siswa di belakang cowok berambut pirang, sejak tadi ia tak berhenti berbisik pada teman ss
Sebelahnya . Awalnya cowok berambut pirang itu cuek-cuek saja saat nama Nisya disebut sebagai cewek tukang nyogok atau ngandelin kecantikannya, toh dia pun tak mengenal orang itu. Namun, telinganya terbuka lebar saat nama seseorang yang ia tahu disebut cewek seperti Nisya.

Cowok itu berbalik, menatap tajam dua orang siswa cewek dengan dandanan menor. Mau ke Ancol jadi badut apa mau sekolah. Muka kok penuh adonan terigu plus gincu merah. Pikir cowok itu. Kedua cewek tersebut tersadar ada yang memandangnya dengan tajam, mereka menoleh mendapati seorang Revan berdiri tepat di depannya.

"Lo ...," Tergagap. Revan mendengus kesal.

  "Gak usah nyiyir jadi cewek. Kalau sirik makanya punya bakat!" Ucapan Revan membuat dua cewek itu melotot.

"Apa peduli Lo," tanyanya dengan nada sepelan mungkin agar tidak terdengar guru piket.

 "Peduli gue? Lo jelekin salena cewek gue!"

 "Hah?" Kedua cewek itu sontak terpekik tak percaya. Seluruh siswa serta guru pun menoleh, mencari-cari siapa yang berani teriak di upacara bendera.

 Menyadari kesalahannya, kedua cewek itu langsung membekap mulut dengan tangan mereka.

 "Siapa yang teriak?" Suara berat Pak Darto memecah keheningan. Langkahnya maju ke arah barisan depan. Menilik dengan kedua mata tajamnya, lalu melongokkan wajah ke setiap jajaran siswa. " Cepat ngaku, sebelum saya menyuruh kalian semua berjemur sampai jam pulang."

Serta Merta seluruh siswa yang tidak merasa teriak pun ikut berbisik-bisik agar kedua pelaku segera ngaku. Semetara, dua cewek itu memberi isyarat agar mereka yang melihat tidak melaporkannya.

"Enak saja! Kalian mau bikin kita dihikum semua?" Ucap siswa di sebelahnya dengan jutek.

"Iyah, sana ngaku!"

"Ngaku gak lho!"

"Heh cabe, cepet ngaku!"

Revan. Cowok itu masih menatap dua orang cewek yang sekarang terlihat panik. Mata salah satu cewek berambut coklat itu memohon agar Revan tidak buka suara. Namun, sepertinya itu sia-sia saja saat Revan mengacungkan tangannya ke arah Pak Darto. Helaan napas parah terdengar nyaring dari mulut kedua siswi itu.

SALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang