*****
Jika Salena menganggap hidupnya akan selalu datar seperti ekpresi yang selalu ia tujukan pada orang-orang, maka semua itu salah. Jalan orang menuju sesuatu dalam hidupnya berbeda, termasuk dia. Salena yang selalu menganggap semuanya lempeng dan tidak ingin memperpanjang masalah. Itulah alasannya dia bersikap sedatar itu. Selain itu pula ini tentang ibunya. Prestasi yang gemilang harus ia capai sebisa mungkin untuk membuat ibunya benar-benar bangga, hingga ia tak akan pernah berminat pada hal yang tidak penting apalagi pacaran.
Namun, seseorang datang padanya, muncul setiap saat, mengganggu konsentrasinya, mengalihkan perhatiannya, membuat rasa canggung tertera padanya, bahkan sipu-sipu malu kini tak terbantahkan lagi tampil di pipi mulusnya.
Sekuat mungkin gadis itu menepis. Akan tetapi, orang itu selalu datang lagi dengan hal-hal konyolnya yang mampu membuat Salena tersenyum, walaupun setipis mungkin.
Kejadian tadi di sekolah cukup membuatnya hilang kesadaran akan keteguhan hatinya. Pengorbanan lelaki itu untuk membantunya mendapatkan seragam cukup unik hingga membuat satu detakan dalam hatinya mengencang. Oh my God! Ini tidak bisa dibiarkan lagi.
Tapi bagaimana Salena menghindari dia, saat di mana orang itu ada di sisimu, seperti sekarang. Salena tengah dibonceng oleh lelaki yang terus terulang dalam pikirannya. Bahkan, tangannya terpaksa memeluk pinggang kuat lelaki itu, saat tak sengaja motornya direm dadakan dan membuat ia terlonjak ke depan dengan tangan memeluk di pinggang. Bagi Revan itu adalah hal yang membanggakan, bisa membuat Salena memeluknya tanpa dipaksa. Ya, walaupun itu tidak disengaja tetap saja ada rasa bahagia karena hingga perjalanan jauh pun gadis itu tak urung melepaskan pelukannya.
Motor pun berhenti tepat di depan rumah Salena. Rumah sederhana tapi membuatnya terasa nyaman. Tanaman-tanaman seperti bunga dan sayuran nampak menghiasai halaman rumah Salena. Revan yang memandangnga tak ingin teralihkan. Gadis di sampingnya bingung melihat Revan masih bergeming.
"Re ...." Belum sempat menegur ternyata Revan lebih dulu menoleh padanya. "Indah," Celetuk Revan, Salena yang tak siap mendengar perkataan Revan hanya terdiam dengan ekpresi bingung.
"Taman halaman rumah kamu indah, bikin nyaman. Kapan-kapan aku mampir yah?"
"Eh."
"Ya sudah, masuk gih! Udah sore, nanti ibu kamu nyariin. Makasih udah mau aku anter pulang. Aku pulang dulu yah, bye!" Tanpa memberi kesempatan Salena berkata, Revan pun lekas pergi dengan motornya. Salena termangu, ada apa dengannya? Kenapa tidak sebawel bisanya.
Eh, tunggu! Kenapa dia malah mengharapkan Revan memperhatikanya. Rupanya serangg-serangga kecil sudah memenuhi otaknya untuk tidak fokus pada pelajaran.
"Sadar ...Sal, sadar ...." Salena menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, masuk ke dalam rumah.
*****
"Baru pulang?" Baru saja kaki Revan melangkah masuk pada ambang pintu. Suara seseorang menyapanya dengan nada tak bersahabat. Di sofa. Seseorang yang berstatus sodara tirinya tengah memandang dengan senyum remeh. Kali ini apa yang akan anak itu lakukan? Mengadu pada sang ayah bahwa Revan pulang telat? Cih seperti dalam sinetron saja.
"Kenapa?" Revan balas menantang. Kemudian, Daniel beranjak melangkah pada Revan. Keduanya beradu tatap dalam jarak yang dekat. Terdengar napas yang memburu dari kedua cowok tanggung itu. Mata mereka saling menyorot tajam, menyiratkan rasa benci masing-masing. Hingga dalam ketegangan itu Diana muncul dengan baju santai serta rambut pake roll.
"Heh! Ngapain gitu-gitu? Mau saling jatuh cinta," celetuknya membuat kedua cowok itu mengalihkan pandangan.
Dan tanpa kata pula mereka melenggang pergi. Revan naik ke atas dan Daniel pergi ke luar rumah dengan dengusan-dengusan kecil. Diana hanya mengangkat bahu melihat tingkah dua sodaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SALENA
Teen FictionSalena Alesya Parahita adalah gadis yang memiliki prinsip "Say No To Pacaran" dari zaman masa pubertas (SMP). Selain itu, ia mendapat julukan gadis kaku dari setiap cowok yang ngedekitannya. Setiap harinya pun tak lepas dari kata belajar, buku, perp...