"hai," sapa murni tiba-tiba sambil merangkul Salena.
Sedangkan Vania dan Tata kaget melihat tingkah murni yang sok-sokan berani mendekati temannya ini. Salena itu berbeda dari mereka. Mereka bawel dan Salena nggak. Salena suka novel mereka suka majalah gadis. Salena ke perpus mereka suka ke toilet sekadar berkaca untuk berdandan. Salena si pendengar setia dan mereka tidak, kata murni.
Hari ini murni begitu senang atas kedatangan Salena. Setelah masa curhatnya semalam, gadis itu terlihat lebih ceria dibandingkan sebelumnya yang tersengal-sengal menahan tangis.
Sebenarnya, Salena masih agak risih dengan sikap murni yang tiba-tiba merangkul. Makanya ia hanya diam dan tersenyum kikuk.
"Cie, yang lagi seneng gak bagi-bagi." Vania menyinggung. Padahal, bahagia bukan karena Murni dapat sesuatu yang baik. Hanya saja, ia senang dengan keakraban yang mereka jalin semalam.
"Bukan kok!" elak Murni.
"Yakin?" todong Vania dan Tata.
"Udah ah, yuk. Bentar lagi bel masuk bunyi." Alih-alih menjawab murni berlalu saja masuk ke kelas. Vania keheranan, tetapi berniat tanya pada Salena percuma saja, gadis itu penjaga rahasia yang kuat walaupun baru mengenalnya.
"Yasudah, gue juga balik ke kelas gue yah, bye!" pamit Tata. Dan Selena pun masuk diikuti Vania di belakang yang masih tampak berpikir sesuatu.
Keadaan kelas masih sepi padahal semua siswa sudah lengkap ada di kelas. Mengetahui itu lebih baik Salena membaca novel saja mumpung Buk Maya belum datang ke kelas.
"Sal, semalem kenapa tutup teleponnya, ada tamu ya?" Salena terdiam. Mengingat memang tadi malam Revan datang ke rumahnya dengan keadaan yang tidak baik- saja.
Cowok itu terlihat habis menangis dengan baju yang basah kuyup karena hujan. Matanya yang tajam seolah lenyap tertutupi sesuatu yang membuatnya terlihat rapuh. Senyum yang setiap hari Salena lihat dengan gaya tengil berbeda dengan semalam yang seakan terpaksa di depan Salena. Gadis itu tau jika Revan memang tidak baik-baik saja, tetapi apa penyebabnya?
Kemudian, ia teringat tentang masalah dirinya bersama saudara tiri Revan. Cewek yang menghinanya waktu itu bisa saja memberi balasan pada Revan dengan hal yang tidak baik, tapi apa? Baru kali ini ia merasa penasaran dengan urusan orang lain. Baru kali ini ia ingin menjadi pendengar seseorang yang tengah bersedih. Baru kali ini Salena merasa ingin dibutuhkan.
Salena berharap.
Tidak sadarnya Revan selama setengah jam membaut Salena panik.
"Revan!" pekik Salena melihat kondisi Revan yang melemas di pelukannya. Cowok itu tiba-tiba pingsan sebelum menjawab pertanyaan Salena.
Serta-merta Salena dengan susah payah membopong tubuh kokoh Revan ke sofa ruang tamu. Bingung dan panik untuk apa yang akan Salena lakukan pada cowok itu. Baju basahnya pastilah membuat dia kedinginan, tetapi mana mungkin Salena mengganti pakaian seseorang yang bukan muhrimnya, apalagi dengan suasana sepi dan hujan deras seperti ini.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam agar bisa menyiapkan mental agar tidak gugup, berani tanpa ada hal-hal yang aneh.
"Nggak, Salena. Mana mungkin kamu gantiin baju cowok. Biarin aja dia kedinginan. Toh, dia yang datang sendiri tanpa diundang dengan acara hujan-hujanan segala." Ia menepis semua pikiran yang ada di kepalanya. Haruskan ia tak acuh pada Revan.
Sebelum itu Salena pun memutuskan pergi ke kamar Al-marhum ayahnya untuk mengambil baju kaos milik beliau. Serta handuk dan selimut untuk menghangatkan tubuh cowok yang masih terbaring tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SALENA
Novela JuvenilSalena Alesya Parahita adalah gadis yang memiliki prinsip "Say No To Pacaran" dari zaman masa pubertas (SMP). Selain itu, ia mendapat julukan gadis kaku dari setiap cowok yang ngedekitannya. Setiap harinya pun tak lepas dari kata belajar, buku, perp...