Kesalahan

137 17 92
                                    


Salena lari tergesa menuju gerbang sekolah yang hampir saja ditutup Pak Maman—satpam sekolah. Untung saja kaki kecilnya mampu mempercepat langkah hingga ia tidak jadi terlambat. Hanya saja ia butuh minuman, napasnya tersengal-sengal akibat lari dari angkot yang malah mogok di jalan, padahal jaraknya sudah lumayan dekat. Alhasil ia berlari sekencang mungkin. Bulir-bulir peluh di dahinya kentara lalu cepat-cepat ia menyekanya dengan sapu tangan.

Setidaknya tidak terlambat masuk sekolah walaupun akhirnya telat masuk kelas juga. Ia pun menghela napas panjang.

"Gimana, yah. Jadwal Bu Siti lagih ... Beliau kan lumyan galak," keluhnya.

Matanya meliar kesetiap penjuru sekolah, kira-kira tempat mana yang aman untuk bersembunyi. Namun sekejap ia tersadar, "lho, kok, aku malah mau bolos."

Terpaksa gadis itu pun melangkah ke kelas. Setidaknya ia harus bertanggung jawab atas telatnya bukan malah bersembunyi—belajar dari mana ia berpikir seperti itu.

***

"Kok, Salena belum juga datang sih?" Vania dan Murni heran, tumben sekali gadis itu telat apalagi pada jadwal Bu Siti.

Di depan kelas Bu Siti sudah siap dengan mata pelajaran yang akan dibahas. Beliau mengajar pelajar fisika—makanya agak galak.

Tok ... Tok ... Tok

Tiga ketukan pintu menyedot perhatian semua penghuni kelas. Bu Siti yang tengah sibuk memerhatikan bahan yang akan dibahas pun menolehkan wajah.

Tok ... Tok...

Sekali lagi. Bu Siti mengernyit lantas melihat buku absensi siswa. Dan ternyata memang ada siswa yang belum terabsen, Salena.

Beliau beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Murni dan Vania menggigit jari was-was jika memang itu benar Salena.

Semua mata memandang ke arah pintu, Bu Siti sudah memegang kenop siap membuka. Kemudian....

"Assalamualaikum." Namun suara yang mengucapkan salam bukanlah milik Salena. Terdengar suara berat siswa laki-laki.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Siti bersamaan pintu terbuka. Dan benar itu ketua eskul basket, dia adalah Daniel.

Sontak dalam kelas siswa perempuan memekik. Ada apa gerangan ketua basket mengunjungi kelas mereka.

"Oh, kamu Daniel. Ibu kira salena."

"Memangnya kenapa dengan Salena, Bu?"

"Ah, lupakan! Ada urusan apa, Dan?"

"Gini, Bu. Saya lagi bertugas untuk mengajak adik-adik kelas ikut eskul basket. Niatnya mau pas istirahat, tapi akan banyak waktu. Cuma, kalau ibu terganggu saya minta maaf, Bu. Mungkin nanti saja."

"Hmm ... Begitu, yah? Ya sudah, tidak apa-apa. Silakan!" Daniel dengan dua temannya lagi masuk ke kelas. Berdiri di depan semua siswa.

"Assalamualaikum teman-teman," sapanya dan dijawab serentak. Siswa perempuan sangat antusias.

"Gini! Kakak lagi buka pendaftaran untuk eskul basket. Siapa tau ada yang punya bakat dan ada kesempatan untuk masuk tim inti. Apalagi tahun sekarang lagi banyak kompetisi basket. Kakak akan bagikan formulirnya dan diharap isi jika berminat. Setelah itu kirim ke ruang OSIS, di sana akan ada kakak. Terima kasih." Kemudian Daniel dan temannya membagikan kertas formulir kepada semua siswa. Bu Siti hanya memperhatikan.

Setibanya di bangku yang menjadi tempat Salena, Daniel terdiam.

"Salena tidak masuk?" tanyanya pada murni.

"Saya gak tau kak. Soalnya belum masuk juga dari tadi. Makanya tadi Bu Siti ngiranya yang datang salena." Jawab murni dan Daniel hanya mengangguk. Setelah selesai mereka bertiga pun pamit pada Bu siti.

Kemudian pelajaran fisika pun Bu Siti mulai. Ia sudah tidak bisa menunggu kedatangan Salena. Lihat saja nanti tidak jika siswi itu benar-benar terlambat.

***

"Permisi! Saya mau lewat."

Di koridor yang lenggang ini masih ada saja dua siswa yang berada di luar kelas. Namun, dilihat dari raut siswa perempuan ia tampak gelisah dan tidak nyaman atas perlakuan siswa cowok yang menghadangnya.

"Kemarin kamu nolak pulang bareng, kenapa?" Cowok itu bertanya sedikit kesal. Dengan tidak memberi jalan pada gadis di depannya. Salena maju ke kiri cowok itu pun mengikuti. Salena maju ke kanan cowok itu pun sama.

"Kenapa harus saya jawab?" Kini Salena mulai bicara. Membuat Revan tersenyum. Akhirnya gadis itu pun merespon.

"Setidaknya niat baik seseorang itu terima!" Tiba-tiba Salena terdiam.

"Kenapa diam? Nggak bisa jawabkan? Makanya jadi cewek jangan kaku!" Hati gadis itu tercubit. Entah kenapa rasanya sakit. Padahal memang iya dia gadis kaku.

Wajah yang sejak tadi enggan memadang cowok itu pun terangkat. Sorot mata yang sulit diartikan. Hingga Revan sempat tertegun sebelum ia menormalkan ekspresinya lagi.

"Kamu tau apa tentang saya? Apa kamu ayah/ibu saya? Atau teman, mungkin? Bukan kan?..." Salena memberi jeda sebelum melanjutkan. "... Kamu hanya orang asing yang tiba-tiba muncul depan saya tanpa permisi. Tanpa tahu malu yang SKSD ber-haha hihi depan saya. Padahal, sedikitpun saya tidak tertarik sama kamu. Saya sempat ikut nebeng karena kamu paksa. Kasihan sebenarnya melihat seseorang yang nggak kenal mohon-mohon agar saya menuruti ajakannya....

...dengar yah! selama ini saya sudah sabar menanggapi sikap kamu yang sok kenal. Mending sudahi saja sikap agresif itu. Karena tidak semua orang menyukainya termasuk S-a-y-a. NGERTI?" Barulah Revan mengerti arti sorot mata gadis itu. Tatapan benci. Bahkan hatinya terhenyak mendapat jawaban telak seperti itu dari sosok kaku, pendiam, tak peduli sekitar, tapi apa yang dia lihat saat itu sungguh berubah 180 derajat. Pikirannya tentang gadis pendiam yang baik tiba-tiba sirna.

Jujur. Ia kecewa. Tetapi ia pun tidak bisa bersikap egois, karena memang bisa jadi sikapnya membuat risih gadis yang ia sukai. Lantas, jika sudah seperti ini harus bagaimana? Bisakah dia membenahi kesalahan pada Salena. Bisakah dia mulai dari awal dengan perkenalan yang biasa saja. Yang tidak akan membuat gadis itu serisih ini sampai berkata sesuatu yang mengecewakan.

Keduanya terdiam. Mencoba berdamai dengan suasana hati masing-masing. Revan tampak bingung saat ingin berkata.

"Huh ... Baiklah! Gue gak akan bicara panjang lebar. Seperti keinginan lo ... Gue akan berhenti gangguin lo dengan sikap agresif kata lo tadi. Oke! Gue minta maaf."

Bahkan cara bicaranya langsung Revan  rubah. Yang awalnya "aku-kamu"  kini kembali ke gaya cowok itu lagi. Setelah itu Revan balik arah dan berlalu. Tidak ingin terlalu lama berdiri di depan gadis itu. Cukup kecewa dan sakit hati. Ada apa dengan Salena sebenarnya?

Menahan amarahnya Revan hanya bisa mengepalkan telapak tangan. Rasanya ingin menonjok seseorang saja.

Sedangkan Salena masih bergeming di tempat. Menatap punggung Revan yang mulai menjauh. Tiba-tiba dadanya bergemuruh saat menyadari apa yang ia katakan pada sosok cowok itu. Namun, ia tidak perlu menyesal karena memang kenyataanya ia risih atas sikap Revan.

Kring!

Sampai gadis itu lupa jika ada satu masalah lagi yang harus ia hadapi setelah ini.

Bu Siti....






Bersambung

Hay!

Duh beberapa hari gak update.
I'm sorry ... Hihi

Bukan sok sibuk. Hanya malas wkwkwk timpuk geura.😂😂😂:-)😭:-)

Vote and koment aku tunggu.
Makasih





SALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang