Bukan Lady Dyana

119 14 122
                                    


Hari Minggu pun tiba, dan ini adalah kesempatan untuk Salena membantu sang ibu. Setelah melaksanakan shalat subuh gadis itu tidak kembali terlelap tetapi sibuk menemani ibunya menjahit di ruang tengah. Dan pagi-pagi sekali ia harus mengantar pesanan untuk pelanggan yang minta diantarkan. Tentunya Salena tidak akan tega membiarkan ibunya sendiri yang mengantar, tahu berapa jauh jarak yang ditempuh membuat Salena bertekad menggantikannya.

"Beneran kamu mau antar?" Wanita itu ragu menatap anak gadisnya yang tengah memakai jaket. Setelah siap ia mengambil dua kresek pesanan yang akan diantar.

"Iya, Bu." Seraya menarik lengan lalu mencium punggung tangan ibunya, Salena pun pamit pergi.

Jam setengah tujuh masih terasa dinginnya udara Bandung. Maka itu Salena lebih memakai jaket dan celana jeans-nya. Ia berjalan menelusuri trotoar untuk menuju halte bus. Masih terlihat sedikit orang-orang yang tengah menunggu bus langganan. Ternyata di hari libur seperti ini masih ada yang pergi bekerja.

Salena duduk sejenak di bangku halte, karena bus yang dinanti masih beberapa menit lagi tiba. Kemudian, ia mengecek ponsel dan melihat ada berapa kotak masuk di benda berbentuk pipih itu.

Ting!

Tiba-tiba bunyi pesan masuk membuat Salena mengernyit heran. Siapa? Pikirnya. Lantas ia membuka pesan tersebut.

[Hallo]

Dan Salena tahu ini siapa? Pastinya cowok yang mulai mengganggunya lagi.

[Kok gak dibales?] Gadis itu menghela napas sejenak lalu mengetik sesuatu.

[Ada apa Van?] balasnya.

Sementara dia ujung jalan sana berdiri sosok si pengirim pesan masuk. Revan tersenyum lebar saat mendapat balasan Salena dengan menyebut ujung namanya, sesuatu yang mengejutkan dan membuat hatinya berbunga-bunga.

[Nggak apa-apa. Aku kangen aja pengen ketemu kamu] Revan terkikik geli saat mengirim pesan itu. Dilihatnya wajah Salena di halte bus sangat cemberut. Gadis itu pasti kesal dengan ucapan Revan yang terkesan gombal.

Tanpa membalas pesan tersebut Salena memasukkan ponsel ke saku jaketnya dan beranjak masuk ke dalam bus yang sudah tiba. Revan pun menghela napas kecewa. Dia kira Salena akan membalas rayuannya.

"Yah."

****

"Daniel! Hape gua mana?!" Diana berteriak pada kakak kembarnya. Sedangkan yang diteriaki malah asik bermusik di dalam kamar dengan volume yang keras. Sejak tadi Diana sibuk mencari ponsel untuk mengirim pesan pada teman-temannya jika gadis itu telat datang. Namun, bukannya segera memberitahu teman-temannya hape gadis itu hilang entah ke mana.

Kamar yang semula rapi berantakan seperti kapal pecah. Dari lemari sampai kolong tempat tidur ia abrik dan tidak ketemu. Kesal! Minggu pagi ini sudah membuat gadis itu uring-uringan.

Dengan cemberut Diana keluar kamar dan menggedor kamar kakaknya.

"Woy buka, kampret!" Makinya di balik pintu Daniel. Pemuda yang ada di dalam tampak cuek sambil tiduran di atas tempat tidur.

"Kakak durhaka, lu Daniel. Buka!" Sekali lagi Diana berteriak dan menggedor pintu.

Suasana rumah masih sepi, karena memang tidak ada siapa-siapa selain anak kembar itu dan Bi Asih. Mamah dan Papanya masih sibuk di luar kota mengurus pekerjaan.

"Gue paksa masuk lho baru tau rasa. Awas kalau protes!" sungut Diana sambil menerjang pintu kamar yang ternyata tidak terkunci.

"Dasar budeg!" Gadis itu meloncat ke atas kasur sambil memukul kakaknya dengan bantal. Daniel yang tidak siap hanya mengap-mengap dan kaget. Lekas pemuda itu menegakkan duduknya.

SALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang