Prolog

41 12 3
                                    

I remember Paris in '49
The Champs Elysee, San Michelle,
and old Beaujolais wine.
And I recall that you were mine
in those Parisienne days
(Gary Moore – Parisienne Walkways)

Malam yang sunyi ini, aku menyalakan radio. Sendirian.

Bukan berarti tak ada siapapun di rumah selain diriku. Di ruang tengah ada Mama yang sedang menonton televisi. Bagaimanapun ramainya para artis melontarkan candaan dalam acara TV, tetap tak dapat menembus rasa kesepianku. Dan kesendirianku.

Selama beberapa bulan terakhir aku memang biasanya sendirian. Mendalami segala perasaan berbau melankolis dalam diri. Membiarkan segala energi yang membawa kesedihan terserap begitu saja, lalu mengendap seperti tumpukan debu. Dan memperlambat jalannya waktu.

Energi kesedihan itu semakin berdatangan saat radio menyiarkan lagu Gary Moore yang berjudul Parisienne Walkways. Lagu beraliran blues tahun 80-an itu menyeretku perlahan melalui melodi ballad gitar listriknya, menuju kenangan tentang orang yang pernah membawakan lagu ini setahun lalu.

Saat itu, di sebuah ruang kafe yang beratap rendah, orang-orang menempati belasan bangku dengan tatapan terfokus pada panggung. Bukan hanya fokus, lebih tepatnya terhipnotis. Dan yang telah membuat perhatian penonton—termasuk aku— terserap sedemikian dalam, adalah Ayah seorang.

Penampilan gitar solonya memang selalu menghipnotis siapapun. Apalagi bila berurusan dengan jazz dan blues. Hampir tak ada yang bisa mengalahkan kekhidmatannya mengalunkan melodi gitar listrik. Jari jemarinya yang kokoh namun agak berkeriput itu menekan senar demi senar, kadang agak menggeseknya hingga terbentuk perpindahan nada yang halus. Melalui gitarnya, ia dapat meneriakkan segala kesedihan yang terkandung dalam lagu hampir menyerupai gaya gitaris aslinya.

Lagu yang ia bawakan tak bersyairkan kata-kata, padahal seharusnya lagu itu memiliki beberapa baris lirik. Ayah memang tak bisa bernyanyi. Tetapi melodi yang ia tuntun sudah lebih dari cukup untuk mewarnai suasana. Sudah lebih dari cukup membuatku larut dalam perasaan kagum.

Pada saat ia memainkan bagian tersulit dari lagu, yang semakin mempercepat pergerakan jemarinya, semakin banyak penonton berdecak kagum. Tak sedikit pula yang bertepuk tangan, seolah ikut mengapresiasi usahanya latihan di rumah maupun di studio selama satu bulan penuh.

Menjelang bagian akhir lagu, melodi rumit itu berganti menjadi melodi bertempo lambat. Berteriak seperti bagian sebelumnya. Namun entah kenapa antiklimaks lagu itu seolah sejalan dengan antiklimaks penderitaan Ayah selama hidup.

Aku berteriak dalam hati, seperti yang biasa kulakukan semenjak terjebak dalam lingkaran kesedihan.

Mengapa kepergiannya harus secepat itu?

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang