Chapter 7 (Erik's Side)

4 1 0
                                    

Berhasil. Akhirnya aku berhasil membawa Yoana ke tempat ini.

Tempat yang kaya akan kenangan. Tempat yang menjadi saksi bisu perkembanganku dari tahun ke tahun. Hanya dengan melihat taman ini, aku ingat dengan setiap peristiwa batin yang bergolak. Hal yang bergolak dalam batin itu akan berbeda tergantung aku datang ke sini dalam keadaan seperti apa.

Tahun pertama aku menemukan taman ini adalah saat berjalan-jalan sendiri menjelajah lingkungan kampus dambaanku. Ketika itu aku menghabiskan waktu dengan merenungkan banyak hal. Tentang masa depan yang masih misterius, tentang impian yang dapat memihak atau mengkhianati pemimpinya, dan tentang ambisi yang entah sampai kapan akan terus membakar semangat dalam diri.

Kenyataan pahit yang menimpaku pada tahun kedua tetap tak menghentikan langkahku mengarungi rumput liar taman yang akhirnya kuberi nama “Markas Pergolakan Batin”. Pada saat itu juga tentu saja ada pergolakan batin, tentang jalan yang akan menuntunku entah ke mana setelah runtuh oleh kegagalan, tentang penyesalan karena Ibu harus pergi tanpa mematri kenangan bahwa anak laki-laki satu-satunya ini sukses masuk universitas yang kami impikan. Dan penyesalan tiada akhir itu mengundang air mata, terus mengalir tanpa khawatir terlihat oleh orang lain karena taman ini selalu memelukku dalam kesunyian.

Pada kali terakhir kunjungan ke markas, aku pernah berjanji pada diri sendiri untuk membawa seseorang yang membuatku nyaman ke tempat ini. Orang yang dapat memberiku kenyamanan tanpa harus banyak berkata-kata. Tanpa harus menjelma menjadi seorang pujangga. Aku tak ingat persis mengapa janji seperti itu harus dibuat. Tak apalah, karena sekarang aku telah menemukan bahwa Yoanalah orangnya.

Maka di sinilah aku kembali berlabuh. Tepat menginjak tahun ketiga. Markas ini akhirnya kusambangi kembali kala seluruh agenda harian pada notes bersampul biru telah ditandai dengan ceklis atau coretan dengan pulpen biru.

“Namanya lebay banget deh,” Yoana tertawa kecil mengomentari penamaanku terhadap taman rumput ini, “Emang pergolakan batin kayak gimana sih Kak?”

Untuk pertama kalinya aku bercerita panjang lebar tentang hal yang dialami dan dirasakan setiap berada di taman. Mulai dari cerita tahun pertama hingga tahun kedua mengunjungi markas. Aku tetap akan menengok markasku meski selalu menjadi pengunjung yang takkan pernah menjadi mahasiswa di sini. Yoana pun setia dengan pendengarannya, tak pernah menyela sampai aku selesai bercerita.

“Jadi, impian Kakak masuk ke universitas ini… terbentuk karena almarhumah ibunya Kakak?” Yoana memelankan suaranya, bertanya dengan hati-hati khawatir akan melukai perasaanku. Aku hanya tertunduk, memandangi rumput liar yang sebetulnya tak perlu dipandangi.

“Entah kenapa jadi ngga enak pas liat kenyataan kalo cuma aku yang lolos. Harusnya Kakak yang udah berusaha keras dan punya ambisi yang berhak dapetin kesempatan ini.”

Perempuan itu tertunduk dengan sorot mata muram. Warna abu-abu dalam dirinya semakin menggelap. Senada dengan senja yang mulai menelan setiap cahayanya, berganti menjadi gelap.

“Kakak udah ikhlasin semuanya kok. Waktu yang terbuang, impian yang semakin menjauh,” sungguh berat bagiku untuk mengungkit seluruh penyesalan itu. Itu semua kulakukan agar Yoana tak bersedih kembali. Aku harus melepas semuanya dengan ikhlas. Waktu sudah tak berpihak lagi kepadaku, aku tahu itu.

“Tapi Kakak titip satu hal.”

“Apa Kak?”

“Selama kamu ada di sini, Kakak pengen kamu janji untuk berjuang dari garis start sampai finish, karena kamulah yang sekarang punya kesempatan untuk menempati salah satu bangku perkuliahan universitas ini. Biar kekalahan orang-orang di medan persaingan ngga jadi sia-sia.”

Yoana tak bergeming. Wajahnya masih menunduk menatap rumput liar, tetapi aku tahu pikiran dan hatinya fokus pada seluruh kata-kataku, sedang berusaha untuk mencernanya sebaik mungkin. Rambut ponytail milik Yoana terusik angin sehingga membelai lembut pipi kanannya.

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang