Saat aku melemparkan senyum refleks kepada Kak Erik tadi, hatiku rasanya lebih ringan dari sebelumnya. Setelah dua kali pertemuan dengannya, seperti ada yang meyakinkan bahwa aku tak perlu takut lagi mengerjakan soal-soal latihan ujian. Mungkin itu semua berkat motivasi tanpa pamrih darinya.
Dan aku pun teringat tentang kelas sukarela di luar tempat bimbel.
"Beneran ngga apa-apa, Na? Takutnya dia basa-basi doang," aku sudah menduga Mama akan ragu dengan penawaran dari Kak Erik.
"Pengajarnya yang nawarin sendiri, Ma. Lagian kalo cuma basa-basi mungkin pengajar yang lain bakal ngelakuin hal yang sama. Tapi kenyataannya cuma dia," dalam benakku langsung tergambar tutur kata lembut dan ramah serta separuh wajahnya yang tersorot sinar matahari.
Mama tampak merenung sebelum mengangguk kecil. Kemudian ia berpesan kepadaku untuk berhati-hati karena bagaimanapun aku belum terlalu mengenal Kak Erik. Hanya itu, sebelum ia melanjutkan sulaman aksesoris pinnya.
Sebenarnya ada satu hal yang mengganjalku hingga pertemuan bimbel kelima tadi. Aku merasa hanya pengajar setengah bule itulah yang secara intensif memperhatikan progress-ku. Pengajar lain belum pernah ada yang bertanya atau bahkan memberiku saran mengenai cara memilih jurusan. Ketika pengajar lain hanya memberi waktu dua jam untuk sekali pertemuan, ia malah memberiku bonus sampai dua kali lipatnya. Berbagai pertanyaan muncul mengenai sikapnya itu. Apakah ia hanya melakukan itu kepadaku? Atau memang kepada setiap murid privat pun demikian?
Lamunanku di dapur terinterupsi oleh getaran ponselku yang bersamaan dengan munculnya pesan baru di layar. Nomor yang berderet di bawah tulisan "Pesan" masih anonim. Tandanya aku belum pernah kontak dengan nomor itu sebelumnya.
"Hay Yoana, by the way ini nomor Kakak. Udah sampe rumah belum? -Erik-"
Kak Erik? Aku membaca pesan itu berkali-kali hingga benar-benar yakin bahwa yang mengirimnya adalah dia. Bagaimana bisa ia tahu nomorku?
"Halo Kak Erik. Udah kok dari setengah jam yang lalu"
"Oh gitu. Udah makan belum?"
Hampir saja aku membiarkan air rebusan dalam panci meluap bersama gumpalan putih telur yang baru kumasukkan tadi. Lagi-lagi Kak Erik mengejutkanku dengan isi pesannya hingga membuatku salah tingkah.
"Ini baru mau. Lagi masak mi instan," aku baru membalas pesan itu tepat setelah memasukkan sebungkus mi instan bersama serpihan-serpihannya. Tak sampai satu menit, balasan dari Kak Erik langsung muncul.
"Loh kok makan itu?"
Garpu yang kupakai untuk mengaduk mi yang setengah matang terhenti. Pesannya makin lama makin asing bagiku.
"Emangnya kenapa Kak?" aku memilih untuk tak langsung menjawab, tapi membiarkan Kak Erik menjelaskan maksud pertanyaannya tadi.
"Bukannya kurang sehat ya, hehe."
Aku mematikan kompor gas ketika mi dirasa sudah cukup matang. Membaca pesan darinya, aku semakin berpikir sepertinya tak ada pengajar bimbel selain dia yang akan sampai memperhatikan muridnya sampai kepada apa yang ia makan. Sekali lagi aku tertegun, membiarkan jantung berdetak lebih cepat hingga bereaksi memberi rona merah pada kedua pipiku.
"Habisnya aku laper banget sih dari pas naik bis tadi, hehe," begitulah balasanku setelah beberapa kali mengetik dan menghapus pesan dalam berbagai versi.
"Oh gitu, okedeh selamat makan ya."
Berkali-kali aku menyadarkan diri sendiri bahwa yang sedang kuhadapi adalah orang yang mengajariku materi ujian masuk universitas, meski jarak usianya hanya setahun. Tetapi usaha itu gagal, dan hatiku tetap meyakini bahwa ia adalah orang yang telah membuatku bahagia melalui hal-hal sederhana. Mulai dari kelas sukarela hingga mi instan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...