Chapter 6 (Yoana's Side)

7 2 2
                                    

Sesampainya di rumah, Mama yang terlihat baru tiba di rumah bertanya mengenai suasana di kampus, teman-teman baru maupun perkuliahan. Rangkaian pertanyaan itu hanya kujawab seadanya. Karena rasa kantuk yang makin lama makin mendera, aku pun menyerah dan langsung masuk ke kamar tidur.

Di sudut kamar yang temaram, gitar akustikku masih dalam keadaan bersandar dekat meja belajar dengan debu yang menempel di beberapa sudut. Setiap kali melihat gitar itu, aku selalu teringat momen di mana aku membunyikan dawainya untuk terakhir kalinya. Bersama buku musik bersampul coklat berisi kumpulan partitur buatan almarhum Papa.

"Lagu Depapepe yang Start udah bisa kan ya?"

"Udah dong," jawabku dengan bangga.

"Coba mainin sekarang," aku mengiyakan permintaan Papa dan bersiap-siap membunyikan keenam senar dengan rangkaian chord yang telah kupelajari dari partitur. Karena sudah hafal persis lagunya seperti apa, jadi tanpa melihat partitur pun aku dapat memainkannya tanpa sedikitpun kesalahan. Papa tampak menggerakkan kepalanya perlahan dan sesekali mengangguk, menikmati petikan gitar yang kutampilkan dari awal sampai akhir lagu.

"Wah, anak Papa hebat ya! Lagu ini lumayan susah loh buat yang masih agak pemula, tapi kamu bisa hapal dari awal sampe akhir lagu," Papa memujiku sambil memberi tepuk tangan, bangga dengan permainan barusan.

"Hehe, habisnya Yoana sering dengerin lagu ini sih. Kan di acara-acara TV juga sering dipake, makanya hapal," jawabku tersipu-sipu. Keempat jari tangan kiriku semakin terasa padat kala mengelus senar satu persatu karena sering latihan gitar.

"Tapi tetep aja kamu jago. Nah, sekarang kita coba latihan lagu Depapepe yang judulnya Kazamidori."

"Lagunya yang mana emang?" aku bertanya, bingung dengan judul lagu duo akustik yang belum pernah kudengar itu. Apalagi aku sama sekali tak mengerti arti liriknya yang berbahasa Jepang.

Papa menyodorkan sebelah headset-nya yang sedang memutarkan lagu Kazamidori dari ponsel. Sementara aku menyimak melodinya, Papa membuka buku partitur bersampul coklat lalu membuat beberapa garis lurus dan deretan chord dengan jarak yang teratur. Pada beberapa baris ia menandainya dengan angka "2x" atau tulisan "back to chorus". Partitur itu ia tulis lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena sering mendengarkan lagu ini atau bahkan pernah diminta oleh murid privat gitarnya untuk membuat partiturnya.

"Nah, partiturnya udah jadi. Sekarang kita coba dari bagian intro lagu. Secara keseluruhan lagu ini temponya lambat dan banyak melodi yang diulang-ulang. Jadi kayaknya ngga terlalu susah buat kamu," Papa memulai sesi latihan lagu baru dengan mencontohkan petikan gitar untuk intro. Aku mengikutinya sedikit demi sedikit dengan beberapa kali pengulangan hingga lancar. Setelah dirasa cukup, Papa melanjutkannya pada bagian setelah intro.

Tepat pada saat sesi latihan kami sudah sampai ke bagian chorus, Papa menghentikan petikan gitarnya. Dari gerak-geriknya ia seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Sekadar info aja, lagu ini punya judul yang artinya 'penunjuk arah angin'. Tau kan kalo di atas rumah atau gereja Eropa itu sering ada alat mirip kompas dan di puncaknya ada besi berbentuk ayam?"

Aku manggut-manggut sembari menyadari bahwa rupanya alat itu dinamakan kazamidori oleh orang Jepang, lalu diangkat menjadi lagu instrumental oleh Depapepe yang terdengar agak melankolis.

"Papa mengartikan lagu ini sebagai pengingat bahwa terkadang hidup harus mengikuti kemana angin bertiup, seperti halnya kazamidori yang berputar-putar hingga menunjukkan arah angin."

Melihat Papa dalam posisi rileks tanpa menyentuh senar gitar sama sekali, aku pun mengikutinya. Firasatku mengatakan bahwa percakapan ini pasti akan berlangsung cukup lama. Pasti tak hanya informasi itu saja yang ingin disampaikannya. Mungkin ada semacam petuah. Papa memang seperti itu.

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang