Chapter 3 (Yoana's Side)

10 5 1
                                    

"Eh.. Um... Ng.. ngga apa-apa...," aku seakan kehilangan kemampuan komunikasiku. Rasa tidak nyaman karena ditegur orang asing menjalariku. Apalagi tegurannya itu begitu tak berdasar, hanya penasaran dengan penyebabku melamun. Aku yakin tak lebih dari itu.

"Ngomong-ngomong mo belajar di sini juga ya?" aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan laki-laki yang masih asing ini. Aku memberi sedikit tatapan menyelidik. Sebenarnya, siapa dia? Dan untuk apa menanyaiku seperti itu?

"Eh iya, belum ngenalin diri. Panggil aja Erik. Kakak salah satu staf pengajar di sini"

Seakan bisa membaca pikiranku, barulah ia memperkenalkan diri. Laki-laki bernama Erik itu berpenampilan begitu rapi, kemeja semi formal berwarna merah hati dengan bagian lengan yang digulung hingga siku, celana jeans yang begitu pas di kakinya-tak terlalu ketat dan tak terlalu longgar juga-. Aku bisa mempercayai bahwa ia staf pengajar itu dari name tag kuning tua yang tersemat di saku kanannya.

"A... aku Yoana...." Aku pun membalas uluran tangan darinya yang merupakan tanda formalitas untuk perkenalan.
Lalu kami berbincang-bincang mengenai kegiatan bimbel di kursi lobby. Perbicangan yang seolah tanpa arah itu sedikit menyinggung tentang persiapan masuk universitas beserta kesulitannya.

"Banyak loh orang-orang yang sukses besar di satu bidang walaupun pada awalnya mereka benci bidang itu. Contohnya aja guru besar di kampus Kakak, asalnya dia ngotot banget pengen masuk fakultas kedokteran. Dia bahkan sampe ikut ujian beberapa kali demi masuk kedokteran, tapi gagal terus. Akhirnya dia terpaksa masuk jurusan hukum, sesuai saran orang tuanya...," ia meneruskan kisah inspiratif dari guru besarnya itu. Aku seakan ikut merasakan kecamuk perasaan sang guru besar itu.

"Tapi nyatanya apa? Dari perjuangannya itu, dia akhirnya lulus cum laude. Beliau malah ketagihan belajar hukum, sampe jadi guru besar di kampus. Apa yang bikin beliau sukses itu awalnya dari kegagalan masuk kedokteran. Beliau pernah bilang gini, ubahlah kekalahan itu agar bisa menjadi cambuk untuk mendapat kemenangan dua kali lipat dari biasanya."

Kata-katanya yang sejuk begitu meresap ke dalam jiwaku yang seperti tanah kering ini, retak dan begitu rapuh bila dipijak. Ia seakan telah mengerti bahwa aku sama sekali membenci segala bentuk penghakiman, yang berisi nasihat maupun hujatan. Dengan pengertiannya itu ia seakan tak tega untuk memijak hatiku lebih keras dengan kata-katanya, khawatir akan hancur menjadi debu-debu hampa.

Kami sudah menghabiskan waktu lebih dari 1 jam untuk sebuah perbincangan ringan namun inspiratif. Ia mohon diri untuk menjalankan kewajibannya mengajar privat.
Kata-kata motivasi tanpa pamrihnya masih terbayang dalam benak. Pengajar bertampang setengah bule itu membuat tekadku semakin menguat. Tekad yang mendorongku menghadap staf bagian front untuk mengonfirmasi waktu dan tempat belajar.

Aku merasa semangatku terlahir kembali.

Dengan mengambil kelas hari ini, itu artinya masih tersisa 2 hari lagi. Mungkin aku bisa mengisi pertemuan selanjutnya untuk belajar IPS.

***

Menginjak hari keempat, aku masih meneguhkan hati untuk terus melangkah menuju tempat bimbel. Ini semua berkat motivasi dari sang pengajar setengah bule itu. Setengah bule sekaligus setengah malaikat. Obrolanku dengannya di hari kemarin seolah membuat semangatku terlahir kembali. Dalam hati kecil, aku berharap mendapat pencerahan lagi darinya. Dibalik harapan itu berdesir juga rasa kagum yang tak dapat kugambarkan.

Di meja front, seperti biasa aku mengonfirmasi kehadiran dan memberitahu rencana belajarku hari ini. Dengan mantap aku menyebutkan kata "IPS" dan staf itu mencari jadwal pengajar yang sedang luang hari ini. Tak lama kemudian ia menyebutkan nama pengajar beserta jam belajarnya, lalu menelepon pengajar tersebut untuk segera menempati bangku di ruang tengah.

"Belajarnya di bangku nomor 10 ya, mbak"

Aku segera mencari bangku nomor 10 di antara bangku-bangku plastik biru yang tersusun zig zag. Beberapa sudah ditempati oleh murid yang belajar privat maupun regular bersama 4 orang murid lainnya. Meja berbentuk persegi dengan tonggak nomor 10 kutemukan bersebelahan dengan jendela lebar, dengan seorang pengajar yang sudah menempatinya, tampak menunggu kehadiranku.

"Hey!"

Rasanya aku tak asing lagi dengan staf pengajar itu. Ia menyapaku, dengan senyum lembutnya. Dengan kacamata yang membingkai mata cokelatnya, dengan rambut hitam kecoklatan yang agak bergelombang, separuh wajahnya tersorot sinar matahari yang menembus kaca jendela di sampingnya. Wajah setengah bule itu, kemeja semi-formalnya itu, dia adalah pengajar setengah malaikatku!

"Wah, ternyata kita ketemu lagi, Yoana"

Aku hanya tersenyum malu di hadapannya dan menganggukkan kepala perlahan. Berkali-kali aku berusaha agar tidak menatap matanya, berusaha untuk memfokuskan tatapan pada buku soal di hadapan kami. Lalu aku mendengarkan dengan khidmat saat ia menjelaskan teori-teori ekonomi berdasarkan buku catatannya.

Kalau diperhatikan lagi, gayanya dalam menjelaskan sangatlah berdasarkan buku teks. Gaya yang sebenarnya tak menjamin materi dapat dipahami dengan mudah, apalagi dicap mengasyikkan. Namun anehnya ini terasa sangat menyenangkan bila pengajar setengah bule itu yang melakukannya. Mungkin di dalamnya terkandung suatu ketulusan dalam mengajar. Pada setiap kata yang meluncur dari mulutnya, aku tak henti-hentinya berharap akan menemukan motivasi tanpa pamrih lagi darinya.

"Gimana? Sampai sini ada yang mau ditanyain dulu?"

Ratusan bahkan ribuan pertanyaan menjejali kepalaku hingga hampir meluncur melalui lisanku. Namun entah kekuatan dari mana, dorongan itu dapat kutahan. Rasanya aku tak tega menghujaninya dengan pertanyaan yang akan menyiratkan bahwa tak ada satupun materi darinya yang menempel di otak.

"Hmm.. ngga ada, Kak"

"Beneran nih? Kalau masih bingung tanya aja ngga apa-apa"

"Aku udah ngerti kok, beneran," jawabku sambil menyunggingkan senyum, berusaha menutupi kebingungan yang terpendam. Laki-laki berhidung mancung itu pun hanya mengangguk tanda mempercayai perkataanku. Aku berusaha untuk terlihat tenang, lagipula sebentar lagi jam pelajarannya beres, ia pasti takkan mencurigaiku lebih lanjut.

"Oh ya, Yoana. Sehabis ini kamu masih ada waktu ngga?"

Kedua tanganku yang hendak membereskan buku dan alat tulis di atas meja terhenti. Wajahku yang sempat menunduk pun kembali mendongak ke arahnya. Kini seribu pertanyaan tentang pelajaran ekonomi yang sulit itu tergantikan sepenuhnya oleh kebingunganku terhadap maksud ucapan pengajar setengah malaikat itu.

"Eh? W-waktu?" aku mulai gelagapan, berbagai prasangka menyertai pertanyaanku.

"Kamu keberatan ngga kalo waktu belajarnya ditambah sampe jam 4 pas?"

Berulang kali aku memastikan bahwa pendengaranku sama sekali tidak keliru. Tadi ia meminta tambahan waktu hingga pukul 4 sore yang berarti waktu belajarku akan menjadi hari ini dua kali lipat dari biasanya. Seluruh kata yang beberapa detik lalu berlalu lalang dalam pikiran berhenti layaknya deretan kendaraan di lampu merah.

Setahuku, selama ini yang biasanya memohon tambahan waktu adalah murid, tapi mengapa yang terjadi malah sebaliknya? Aneh sekali. Kini aku tak tahu harus bahagia atau diam memendam kebingungan.

Aku mempertimbangkan matang-matang tawaran itu. Bila ia sukarela memberi tambahan waktu, aku sama sekali tidak keberatan. Sang surya yang bersinar berani semakin menggodaku dengan terus menyorotkan sinar pada separuh wajah tampannya, seolah membujuk agar aku menerima tawaran itu sehingga dapat berlama-lama memandangi wajahnya.

"Kalau untuk masalah biaya, ngga ada tambahan apa-apa kok. Ini penawaran sukarela dari Kakak aja."

Nah loh. Bahkan ia mengakui hal ini sebagai sukarela. Apakah benar-benar tak masalah mengambil tawarannya?

"Eh beneran ngga apa-apa nih?" Kak Erik hanya menanggapi dengan anggukan mantap, "Kalo aku sih boleh-boleh aja"

Mungkin hanya perasaanku saja. Tetapi aku seperti melihat semburat bahagia dari wajahnya yang mirip bule itu.

Dan aku pun diam-diam memendam perasaan yang sama.

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang