Petikan melodi lagu Kazamidori mengembalikanku dari alam mimpi menuju kehidupan nyata.
Biasanya aku menikmati beberapa baris lagu melalui headset, alih-alih bangkit dari tempat tidur dengan tergesa-gesa. Membentuk suasana hati agar dapat memulai hari dengan pikiran yang segar dan dapat menyelesaikan segala sesuatunya dengan baik.
Tetapi aku tak bisa melakukannya untuk hari ini. Tugas makalah pengantar kajian budaya kelompokku belum kucetak sama sekali. Aku tak punya banyak waktu untuk membentuk mood-ku Senin pagi ini.
Sebuah renungan mengiringi gerakan tergesa-gesaku membereskan tempat tidur dan barang bawaan untuk ke kampus. Akhir-akhir ini segala sesuatunya terasa seperti diseret-seret. Baik suasana hatiku maupun setiap pekerjaan yang kulakukan. Ketika mahasiswa lain menuntun beban tugasnya seiring dengan ritme langkah, aku hanya bisa menyeretnya dengan setengah hati sampai garis finish. Alhasil tugas itu tiba dengan cacat di berbagai sisi.
Apakah setiap orang yang memilih jalan kedua memang merasakan hal seperti ini?
Sekali lagi, aku tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Makalah itu telah tercetak tanpa sempat kuperiksa kerapihan spasi dan detail lainnya. Setelah menarik dan menumpuk beberapa kertas hingga urutan halamannya telah sesuai, aku menjejalkan makalah bertema rasisme itu ke dalam clear file plastik. Lalu aku menyeret langkah cepat bersama dengan clear file di tangan kananku.
Aku hanya menyeka titik-titik keringat di hidung maupun kening ketika berdiri di samping pintu ganda bus. Tatapanku selalu menuju pada satu titik yang sama di luar sana, tak peduli penumpang di sekitarku berganti dari satu orang ke orang yang lainnya. Bus terasa semakin padat sehingga aku pun semakin terhimpit dan tak sempat merogoh headset di dalam ransel.
Kalau begini adanya, tak ada yang dapat kulakukan selain pasrah menghadapi mood yang akan semakin meluncur menuruni bukit suasana hati. Tak berbeda jauh dengan keadaan pramenstruasi.
Beberapa meter lagi bus akan tiba di depan gerbang kampusku. Aku dan beberapa mahasiswa lainnya bersiap-siap untuk turun di halte. Bersiap menghadapi segala kenyataan manis maupun pahit di dunia perkuliahan.
Mata kuliah pertama akan dimulai pada pukul setengah delapan. Langkahku menuju tempat jilid dan fotokopi terhenti. Waktu terlanjur memaksaku untuk berlari menuju gedung fakultas. Hanya ada sisa waktu 10 menit lagi. Tak apalah, toh makalahnya dikumpulkan pada mata kuliahnya di jam terakhir.
Ruang kelas yang ditempati anak-anak kelas B sudah ramai. Bahkan ada beberapa anak kelas A yang juga ikut menimbrung. Mereka berkumpul dalam satu forum berisi 5 orang, yang kesemuanya teman kelompok makalahku.
"Hey, Yoana. Sini, sini."
Salah satu dari mereka melambaikan tangan kepadaku. Lantas kudekati mereka sembari bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan.
"Kenapa?"
"Makalah yang kelompok kita udah siap dikumpulin belom?"
"Eh?" aku terkejut sekaligus merasakan debaran yang semakin cepat. Sepertinya pembicaraan ini akan mengarah pada hal yang negatif.
"Tinggal dijilid sih, abis matkul ini. Matkul pengantar kajian budayanya nanti kan?"
"Tadi aku dapet pesen WA dari dosen matkulnya, beliau bilang makalahnya harus dikumpulin sekarang banget. Soalnya nanti di jam terakhir beliau ngga bisa masuk kelas."
Seperti yang kuduga, beberapa dari teman kelompokku mulai menatapku. Sebagian besar bermakna "bagaimana ini" dan "aku tidak mau tahu, pokoknya harus dikumpulkan sekarang juga". Kedua-duanya tak mampu kujawab, dan aku hanya terpaku tanpa sedikitpun menurunkan ransel dari bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...