"Penampilan lu casual aja, Rik. Jangan kayak lagi kuliah atau ke kantor kelurahan, pakenya kemeja mulu."
Kemarin Kak Devan memberiku banyak saran sambil mengisi kekosongan dengan menyeruput kopi aroma mint kesukaannya. Pada akhirnya ia tahu semua ceritaku dengan Yoana. Dan sudah pasti ia tahu juga tentang rencanaku hari ini. Maka dari itu, kami menyempatkan waktu untuk bertemu di kafe dekat kampus demi mendiskusikan hal ini.
"Tapi baju di rumah tuh kebanyakan kemeja Kak. Jadi gimana?"
"Lu ngga pernah beli baju lagi gitu akhir-akhir ini? T-shirt, ngga ada?" tanya Kak Devan penuh selidik.
"Kaos ya, paling kaos panitia," jawabanku membuat Kak Devan menepuk jidat. Matanya bergulir perlahan seperti sedang berpikir keras untuk memberi saran.
"Kaos polo ada?"
Aku mengingat-ingat apakah dalam lemari coklat tuaku tersimpan satu atau dua kaos polo. Memoriku terus menggali saat-saat aku membereskan baju seminggu lalu.
Ada. Kaos polo pemberian Ibu tepat sebelum ia mulai jatuh sakit.
"Oh, ada Kak. Pake itu aja ya?"
"Iya, Rik. Lebih nyantai pake kaos polo. Kalo ada celana tiga per empat lebih bagus lagi."
"Wah ngga ada kalo itu. Kebanyakan jeans," jawabku cepat, yakin dengan persediaan celana yang kesemuanya jeans baik warna biru muda maupun hitam.
"Kalo gitu pake kaos polo sama jeans juga ngga masalah."
Jadi hari ini aku mengenakan sesuai saran seniorku itu. Cermin setengah badan di kamarku memantulkan kaos polo merah marun dan jeans hitam yang tampak berharmoni. Setelah memastikan baju tidak kusut, tanganku seraya merapikan rambut bergelombang yang mulai sedikit lebih berisi.
Sebelum bertolak menuju Luxury Mall, aku menyunggingkan senyum. Berharap tak mengingat-ingat lagi luka lama itu dan menyalahkan Yoana. Keberuntungannya sama sekali tak bisa disalahkan, begitulah yang terpatri dalam hati.
Intinya, aku masih berharap dapat melihat senyuman yang dapat menepis aura melankolisnya itu. Seperti saat kami menghabiskan waktu di tempat bimbel.
Motorku melaju membelah kota yang ramai oleh orang-orang yang sepertinya akan berwisata. Sesekali aku terjebak kemacetan di beberapa sudut. Untunglah jarak dari rumah menuju mall itu hanya sekitar 15 menit. Aku berharap semoga Yoana yang rumahnya lebih jauh tak terjebak macet. Apalagi ia selalu naik bus kemanapun akan pergi.
Ponsel dalam saku celana bergetar dua kali ketika aku berhenti di lampu merah. Lantas aku menepi dan merogoh saku demi memastikan apakah itu pesan singkat atau chat dari Facebook. Siapa tahu dari Yoana.
"Kak Erik dimana? Aku baru nyampe nih."
Ternyata memang dari Yoana. Dalam kotak masuk yang sama sekali belum pernah kuhapus, masih tersimpan pesan terakhir darinya 3 bulan lalu, tepat sebelum aku menghilang. Dan sekarang namanya menghiasi lagi kotak masukku.
"Masih di perempatan nih, tapi pas belok kiri udah langsung ke arah mallnya kok. Yoana nunggu di mana?"
"Aku di bangku panjang, keliatan banget kok dari pintu masuk."
Tak ingin membuatnya menunggu lebih lama, aku langsung memacu motorku lebih cepat begitu lampu merah berganti menjadi hijau. Hampir saja aku menyenggol pengendara motor di samping kalau tidak diperingatkan dengan klakson yang nyaring.
Akhirnya mataku telah menangkap Luxury Mall yang menjulang tinggi dengan tempat parkir cukup luas. Dari luar sudah terlihat barisan mobil dan motor mengantri untuk mendapat karcis parkir. Aku pun mendekatkan motor pada antrian itu, seraya menahan perasaan tak sabar ingin melihat sosok Yoana yang semakin membuncah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...