"Nak, mau sampe kapan kamu kayak gini terus? Udah lewat tiga bulan loh..."
Aku terus meringkuk di sudut kamar yang kubiarkan temaram dengan membiarkan cahaya matahari masuk melalui jendela yang kubuka separuh. Kedua kakiku yang ditekuk hingga lututku hampir menyentuh dagu sedikit menekan-nekan sprei kasur yang semakin hari semakin kusut. Tak ubahnya dengan suasana hatiku. Tak ada sedikitpun dorongan dalam diri untuk berucap sepatah katapun.
"Mungkin emang belum waktunya bagi kamu buat menunaikan cita-cita itu demi Papa," ujar Mama dengan suara lembutnya. Ia tetap berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka, berusaha menjaga jarak. Namun dengan tatapan selembut itu ia hampir berhasil menyentuh hatiku.
Seluruh inderaku seakan mati ketika mimpi dan harapan telah terbang jauh meninggalkanku, menyisakan luka dalam jiwa. Sosok yang menjadi pelita dalam raga, kehadirannya membuat duniaku lebih berwarna. Kini seluruh cahaya telah kehilangan bintik terangnya ketika datang kenyataan pahit bahwa aku tak bisa membahagiakan Papa di saat terakhirnya.
Cermin yang berseberangan dengan kasurku merefleksikan sisi gelapku selama masa-masa menyendiri ini. Ia seolah ingin menyadarkan bahwa sudah saatnya aku merapikan rambut sebahu yang kuikat seadanya. Poninya pun tak beraturan menutupi dahi. Namun aku tak peduli dan memilih terus berteman dengan kesedihan.
Seandainya aku bisa memperlihatkan pada Papa bahwa aku lulus masuk sekolah musik. Tetapi apa daya, aku takkan bisa memungkiri bahwa aku gagal...
Seperti apa yang dikatakan Mama, aku memang terus seperti ini selama tiga bulan terakhir. Aku memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan sosial. Untuk sebulan pertama, masih kuanggap sebagai masa berkabung. Tetapi aku malah terlalu nyaman dengan masa-masa ini dan terus menarik diri. Hingga akhirnya Mama memilih untuk membiarkanku lebih banyak menyendiri, meski aku tahu ia pasti ingin menonton televisi atau makan bersama seperti yang biasa kami lakukan ketika Papa pergi mengajar gitar.
Setiap kali aku menyendiri, mataku pasti menangkap brosur besar sekolah musik yang selalu terletak di atas meja belajar, dan sebuah gitar akustik yang bersandar di samping meja. Kedua benda itu selalu mengingatkanku pada kebahagiaan bersama Papa, sekaligus kenangan pahit karena kegagalan itu. Dan setiap aku melihatnya, hatiku terus mendorong untuk menyentuhnya kembali, meski di sisi lain sebuah rasa takut akan kegagalan berhasil menarikku.
Mama menghela nafas, seperti ingin mengatakan sesuatu. Matanya berkedip sedikit lebih cepat dari biasanya. Seperti ada suatu hal penting yang ingin disampaikan.
"Mungkin Tuhan sudah menakdirkan kamu bukan bergelut di bidang musik seperti Papa," Mama terlihat berhati-hati mengucapkan hal itu. Ia dengan baju terusan coklatnya memberi jarak berupa keheningan sejenak.
"Bagaimana pun juga, kamu harus tetap maju. Kamu ngga bisa terpuruk hanya karena satu impian. Kamu harus cari impian lain, Na."
Kata-kata Mama tadi itu seperti menyentakku keras-keras. Ketika ia sudah menyisipkan nama panggilanku di akhir kalimat, itu pasti sudah menyentuh keseriusannya dalam berkata-kata. Belum reda rasa sakitku setelah menelan kegagalan, kini aku diminta untuk memikirkan pilihan lain untuk masa depan. Aku merasa peta kehidupanku masih belum bertujuan. Jalan pada peta itu masih belum selesai digambar.
Batinku berusaha membaca, sebenarnya apa yang kuinginkan saat ini. Aku menengok pada gitar akustik yang tersandar di samping meja belajar. Gitar itu dan kenangan di baliknya yang telah membesarkan semangatku untuk masuk sekolah musik.
Bagiku bukan hal yang mudah untuk melakukan hal itu. Tetapi Mama meminta aku untuk terus maju dengan meninggalkan impian bermusik. Apakah ini memang pertanda bagiku untuk mulai mencari impian lain?
Tetapi, impian seperti apa?
******
Beberapa hari setelah nasihat Mama, aku menghabiskan waktu dengan mengumpulkan sebuah keberanian mencari impian baru. Mau tidak mau aku harus menggambar peta kehidupanku. Jalan yang kulabeli 'musik' itu kini menemui jalan buntu. Jadi aku harus menggoreskan pena membentuk jalan ke arah yang lain.
Demi mendapat gambaran untuk peta itu, aku menghubungi guru Bimbingan Konseling. Melalui telepon aku bercerita panjang lebar mengenai hambatan dan kegalauan untuk melanjutkan studi. Meski sepintas aku tahu jawaban yang akan keluar.
"Gimana kalau kamu coba seleksi masuk Universitas Negeri?"
Sebenarnya sejak awal aku sudah menghindari pilihan itu. Setiap kali aku mencari informasi tentang universitas, pasti hanya bidang teknik, kedokteran, hukum maupun ekonomi saja yang dielu-elukan. Bidang yang tak sejalan dengan minat itu hanya membuatku muak.
"Kalau ngga salah, ada universitas jurusan Seni Musik," seolah dapat membaca pikiranku, guru Bimbingan Konseling itu menyebutkan nama salah satu universitas yang terkenal. Dan aku baru ingat di sana memang ada jurusan seni musik.
Aku tertegun, membiarkan percakapan menggantung. Kalau saja percakapan ini berlangsung sebelum nasihat Mama, mungkin aku akan bersemangat untuk mengejar ambisi lama. Tetapi hatiku sudah sepenuhnya mengikuti nasihat itu demi terus maju. Mungkin sudah takdirku tak melalui jalan itu.
"Mungkin saya cari-cari dulu info tentang universitas lain. Terima kasih, Pak"
Hanya itu yang kuucapkan sebelum mulai browsing tentang informasi seleksi masuk universitas negeri. Tes itu ternyata diselenggarakan pertengahan Juni nanti. Batas waktu pendaftarannya tinggal satu minggu lagi. Sedangkan aku masih belum menambatkan pilihan baik universitas maupun jurusannya.
Sejenak aku mengalihkan laman pada Facebook untuk menyegarkan pikiran. Seperti biasa linimasa selalu penuh oleh curahan ekspresi teman-teman. Yang sedang menjadi tren adalah cerita tentang ambisi mereka yang tercapai di bawah nama universitas kebanggaan mereka. Ah iya, aku lupa bahwa pada saat seperti ini akan banyak nada-nada pamer yang membayangkannya saja sudah membuatku tersiksa.
Tepat sebelum menutup laman Facebook, di linimasa terpajang poster iklan lembaga bimbingan belajar yang mempromosikan kelas persiapan ujian masuk universitas. Di antara warna kuning mencolok serta gambar lucu yang menghiasi poster tercantum pula biaya belajar untuk peminatan saintek, soshum, dan IPC.
Sepertinya bukan ide buruk untuk ikut bimbingan belajar itu. Mungkin saja di sana aku akan mendapat inspirasi tentang jurusan yang harus kupilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...