"Kak Erik! Tau ngga, aku lolos masuk jurusan kedokteran loh!"
"Eh, eh, aku juga udah di jurusan arsitektur sekarang!"
"Aku dong, jurusannya ngga mainstream kayak kalian."
"Emang apaan gitu jurusannya?"
"Desain komunikasi visual dong!"
Beberapa murid yang pernah mengikuti kelas reguler denganku langsung membanjiriku dengan percakapan tentang hasil ujian. Mereka langsung mengelilingiku begitu aku memasuki lobby. Aku tak tahu apakah mereka memang sudah datang sepagi ini atau sengaja datang untuk membicarakan itu denganku. Sebenarnya aku sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Lantas kutanggapi saja mereka satu persatu dengan ucapan selamat dan tawa. Meski hatiku sama sekali tak dapat tertawa.
Rasa sakit yang kurasakan tahun lalu sepertinya tak seberapa dengan sekarang ini. Saat itu aku belum memiliki inisiatif untuk mengajar di tempat bimbingan belajar, jadi aku hanya memendamnya sendirian tanpa ada sesuatu dari luar yang menyakitiku secara tak langsung. Namun semenjak aku mengajar sambil mempersiapkan diri untuk ikut ujian, selalu saja ada yang menaburkan garam pada luka yang kembali menganga.
Termasuk Yoana.
Untungnya murid-murid yang pernah kuajar sama sekali tak tahu bahwa aku juga mengikuti ujian. Tetapi ketika mendengar percakapan itu lebih lanjut, perutku menjadi mual dan itu mendorongku untuk segera mengisi kelas privat. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku meninggalkan mereka yang masih ramai mengobrol dan memasuki ruang tengah yang masih agak sepi.
Muak. Benci. Gusar. Dalam imajinasiku juga tergambar bahwa Yoana sedang melakukan hal yang sama dengan mereka di luar sana. Mungkin ia akan tergelak bersama temannya dengan cara yang sama, dan dengan sikap pamer yang terselubung. Kegagalan ini telah membuat hatiku semakin tertutup dari kenangan indah bersamanya.
Aku sudah mendapati diriku telah tiba di kampus sekitar setengah jam setelah kelas privat itu berakhir. Tadi aku memacu motorku lebih cepat dari biasanya, makanya dapat mempersingkat 10 menit waktu perjalanan. Hari ini ada kuliah mulai dari pukul 2 sampai setengah 4 sore. Hanya satu mata kuliah, tetapi mau tak mau aku harus datang karena ada presentasi. Lagipula aku tak ingin bersusah-susah negosiasi dengan dosen untuk meminta tugas pengganti.
Fakultas Hukum tempatku mempelajari banyak hal ini tak banyak berubah sejak aku masuk. Tak ada renovasi seperti yang terjadi di Fakultas Teknik, tak ada penambahan kuota pengajar maupun mahasiswa seperti di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Semua masih berjalan seperti biasanya, dari hari ke hari. Lapangan olahraga yang selalu ramai oleh sesi latihan anggota UKM basket ataupun voli, sekretariat himpunan dan UKM yang memanjang di bagian barat, dan keramaian di gedung tempat kuliah S1 beserta tangga yang menghubungkannya dengan lapangan tempat para mahasiswa biasanya rapat.
"Hai Kak, boleh minta waktunya sebentar?"
Aku menoleh saat ada suara yang menghentikan langkahku menuju gedung kuliah. Seorang laki-laki berwajah oriental menyapaku sambil memeluk setumpuk brosur warna warni. Entah untuk acara atau program apa.
"Oh, hai Marco. Ada apaan?" sapaku saat mengenali siapa gerangan yang memanggil.
"Eh, Erik ternyata, dikirain siapa. Gue mo nawarin sesuatu nih," orang yang pernah mengikuti kegiatan himpunan fakultas bersamaku itu memisahkan salah satu brosur dan menyodorkannya kepadaku. Gambar dan tulisannya persis menghadap posisiku sehingga dapat dibaca dengan jelas.
"Bentar lagi kan Paskah nih, gue mewakili himpunan gereja mau ngajakin lu gabung di acara kita. Waktu sama tempatnya persis sama yang tercantum di brosur. Dan lu bisa langsung hubungi nomor di bawah, kebetulan itu nomor gue," Marco terus berbicara tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya atau menyanggah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...