Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Sebentar lagi jam pelajaran tambahan ini selesai. Mau tidak mau aku harus mengakhiri percakapan dengan Yoana. Aku harus segera ke bagian front untuk mengonfirmasi selesainya kelas hari ini. Sedangkan sosok Yoana sudah membaur di antara murid-murid yang hendak pulang.
Sejak kerja sampingan menjadi guru bimbingan belajar, aku semakin banyak berinteraksi dengan orang baru dari berbagai kalangan. Mulai dari anak SD sampai staf yang rata-rata sudah jenjang S2 ataupun menikah.
Sejak dibukanya pendaftaran ujian masuk universitas, aku pun sering dituntut untuk memberi motivasi kepada beberapa murid dan beberapa tips belajar efektif.
Namun tak biasanya aku mengajak murid mengobrol lama-lama seperti barusan. Apalagi aku hanya mengenal Yoana sepintas. Entah kenapa saat mengobrol dengannya, mengalir rasa nyaman yang sudah lama tak kurasakan. Dan tanpa sadar bayangan Ibu muncul ketika ia ada di hadapanku.Ketika bayangan Yoana masih bersemayam dalam pikiran, sedikit terbersit olehku untuk menghapus segala kesedihan yang membuat wajah manisnya menjadi muram. Entah kenapa aku ingin mengukir senyumnya dengan apapun yang dapat kulakukan. Seperti dengan kelas tambahan secara sukarela, bila yang membuatnya muram itu dari minimnya persiapan ujian.
"Loh? Kelas privatnya Yoana kok baru beres jam segini? Bukannya cuma sampe jam 2 ya?"
Bibirku mengulas senyuman. Itu biasa kulakukan sebelum memberikan suatu alasan. Tidak, lebih tepatnya pembelaan dari segala tindakanku. Senyuman itu berguna untuk mengurangi beban sehingga aku tak merasa gugup sama sekali.
"Harusnya cuma sampe jam segitu sih. Tapi aku yang ngasih waktu tambahan ke dia, soalnya Yoana keliatan masih bingung."
"Tapi masalahnya jatahmu cuma dua jam aja kan?" aku tahu maksud Mba Fera pasti kepada jatah bayaranku.
"Ngga apa-apa, Mba. Erik juga tahu itu kok. Lagian ini kan sukarela"
"Oh, ya udah ngga apa-apa kalo kamu emang sukarela. Saya khawatirnya kamu setelah ini malah minta uang tambahan dari kelas privat yang tadi."
Aku hanya tertawa menanggapi Mba Fera yang sifat apik terhadap uangnya mulai keluar. Maklum saja, ia memang bagian administrasi yang memegang tanggung jawab pengaturan jadwal maupun keuangan. Untunglah perempuan yang sebentar lagi akan menikah itu tak mencecarku lebih lanjut.
Menjelang pukul 6 sore, aku sudah menyelesaikan laporan harian mengenai perkembangan kelas reguler dan privat yang kupegang hari ini. Setelah tak ada lagi yang harus kukerjakan, aku pun pamit pulang pada staf administrasi maupun pengajar lain yang masih di dalam ruko. Langkah lebar kedua kakiku dengan mantap menuju ke tempat parkir tempat motor bebekku berada.
Tepat pada saat memakai helm, sesuatu yang abstrak tiba-tiba mengganjal di pikiranku. Rasanya seperti ada sesuatu yang lupa untuk kukerjakan. Saat perasaan itu muncul, segera kukeluarkan buku catatan kecil dari saku kemeja. Seluruh kegiatan hari ini sudah kutandai dengan tanda centang. Lalu apa lagi yang terlupakan?
Rupanya yang terlupakan itu memang tidak tertulis dalam buku. Aku baru sadar bahwa aku lupa menanyakan kepada Yoana apakah ia akan mengambil kelas IPS lagi atau tidak. Atau jangan-jangan ia telah memutuskan untuk belajar mandiri setelah mengikuti pembelajaran denganku yang membosankan? Sial, kenapa aku lupa untuk memastikannya?
Namun mengapa aku menyesali hal sekecil itu?
***
"Rik! Erik!"
Langkahku ke arah pujasera depan ruko terhenti oleh panggilan cukup nyaring yang tak terinterupsi keramaian lobby. Pemilik suara melengking namun tetap terdengar dewasa itu memberi isyarat kepadaku agar menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renaissance
Teen Fiction((ON GOING)) Kisah ini menggambarkan dua sudut pandang dari karakter bernama Yoana dan Erik. Yoana adalah seorang perempuan melankolis yang tidak bisa mewujudkan ambisinya dalam bermusik dan terpaksa harus masuk universitas. Erik adalah seorang maha...