Chapter 8 (Yoana's Side)

4 0 0
                                    

Mataku seperti enggan untuk terpejam. Rasanya masih terus saja ingin menelusuri setiap jari mulai dari jempol hingga kelingking kananku yang sempat menjadi saksi bisu janjiku dengan Kak Erik.

Aku masih belum percaya bahwa jemariku dapat saling bertaut dengan jemari Kak Erik yang sedikit lebih besar. Sentuhan lembutnya masih saja tertinggal dan terus merayapi perasaanku.

Dengan kata lain, janjiku untuk berjuang di universitas telah terikat. Kejadian sore tadi seolah telah memberiku suatu dorongan untuk menuntaskan apa yang telah kumulai, tak peduli seberapa rendahnya minatku. Mungkin Tuhan memang sengaja mengirim Kak Erik sebagai penyemangat agar aku tak terjebak dengan mimpi yang lama.

Pertemuan kami di Markas Pergolakan Batin semakin menyadarkan bahwa aku semakin mengenal sosoknya lebih dekat. Apalagi ia telah membawaku ke tempat rahasianya dalam mencurahkan segala perasaan. Mungkin tempat itu selanjutnya akan kukenang juga sebagai saksi atas pergolakan batinku. Jadi ketika aku sedang merindukan Kak Erik, aku tinggal mengunjungi taman belakang rektorat sambil melukiskan bayang-bayang setengah malaikatnya sebaik mungkin.

Hampir sepanjang malam setiap tutur kata Kak Erik masih saja memenuhi ruang dalam kepala. Mulai dari keikhlasan atas kegagalan yang telah ia alami, hingga janji yang terikat. Saat jari kelingkingnya menyentuhku, aku sama sekali tak merasa ia membohongi perasaannya sendiri. Sentuhannya lembut, lalu perlahan menguat seolah hendak menyadarkan bahwa sampai seterusnya janji itu harus kugenggam.

Selama kamu ada di sini, Kakak pengen kamu janji untuk berjuang dari garis start sampai finish ... Biar kekalahan orang-orang di medan persaingan ngga jadi sia-sia

Kata-katanya berhasil membuatku menjadi seperti seorang pasukan yang diberi amanat oleh panglima perang yang terpaksa lengser dari peperangan, dibanding menjadi mahasiswa dengan pengetahuan seumur jagung.

Kehadiran Kak Erik sedari awal memang telah membuka jalan dan cerita baru dalam hidupku. Saat aku tak tahu harus melanjutkan ke jalan seperti apa, Kak Erik datang dengan motivasi dan kelas sukarelanya hingga aku lolos masuk universitas. Dan entah bagaimana caranya ia telah menempati suatu bagian spesial dalam hatiku.

Namun ketika gitar akustik berada di depan mataku dengan segala cerita dibaliknya, kebimbangan selalu saja tumbuh seperti tanaman liar. Apakah aku yakin dapat melupakan impian lama semudah menautkan jari dengan pengajar setengah malaikat itu?

"Ya berarti itu udah pertanda biar kamunya konsisten di sini, Na. Lagian kan jauh sebelum ketemu Kak Erik, kamu juga udah janji ke ibu kamu buat ninggalin impian bermusik yang udah bikin galau berkepanjangan." Tangan kanan Retha sibuk menciduki serpihan es pisang ijo dalam gelasnya. Kemudian ia berujar kembali, "Jadi menurutku sih tinggal jalanin aja apa yang udah kamu lalui sekarang."

Retha rela menghabiskan waktu di kantin fakultas denganku meski sebenarnya ia ingin cepat-cepat pulang. Sengaja kutahan ia demi memperdengarkan cerita tentang segala kebimbanganku. Hasilnya, kini ia tahu motivasiku mengambil jurusan hingga cerita kemarin sore di Markas Pergolakan Batin.

"Dan aku yakin almarhum ayah kamu juga ngga akan kecewa ketika kamu terpaksa ngambil jalan yang baru, selama itu memang hal yang baik. Karena dalam permainan juga kemenangan itu ngga harus bersumber dari satu sisi mata uang aja."

Benakku yang isinya berlarian entah ke mana berusaha meresapi nasihat Retha. Mungkin tugasku sebagai pasukan perang saat ini adalah melaporkan pertempuran apa yang telah kualami kepada sang panglima perang, dan menunggu wejangan apa yang akan ia turunkan untuk menghadapi pertempuran selanjutnya.

Semoga keikhlasan akan tetap bersemayam dalam hati Kak Erik meski telah didera berbagai cobaan.

***

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang