Chapter 7 (Yoana's Side)

1 1 0
                                    

Makasih udah masukkin Kakak ke dalam daftar orang yang kamu khawatirkan, Na.

Sebagai gantinya, kalau ada masalah apa-apa di kampus, masalah pribadi maupun akademik, curhat aja ke Kakak. Kakak bakal berusaha bantu.

Masih terngiang-ngiang olehku apa yang dikatakan oleh Kak Erik kemarin sore. Cara memanggil dirinya sendiri, sama seperti menganggapku sebagai adik kandungnya. Masih tak berubah sejak aku belum masuk universitas. Seolah aku akan selalu dianggap kecil olehnya.

Bukankah ini semua sudah melebihi harapan? Selama ini aku hanya ingin menelusuri lekuk-lekuk wajah setengah bule dan suara setenang telaga miliknya. Namun ia sudah mengucapkan suatu pertanda bahwa hatinya sudah semakin terbuka untukku.

Pada pagi hari di pembuka minggu yang menjemukan bagi sebagian mahasiswa, aku dibanjiri oleh pertanyaan dari Retha tentang kencan kemarin. Kujawab saja satu persatu, meski aku yakin itu belum memuaskan hasrat kepenasarannya. Apalagi ia kecewa ketika mendengar aku sama sekali tak berfoto dengan Kak Erik.

“Lagian apa artinya selembar foto kalo aku masih punya kesempatan untuk ketemu dia setiap saat,” ujarku seraya mengutip suatu kalimat yang entah kudengar dari mana.

Mendengar jawaban tersebut, Retha hanya manyun dan melanjutkkan lagi santap siang nasi gilanya.

“Hay Yoana, udah makan siang belum?”

Binar dalam mataku muncul kala mendapati pesan singkat beratas nama “Kak Erik”. Kebiasaan yang telah lama terkubur itu kembali menyeruak. Pesannya mendorongku untuk melakukan kebiasaan itu lagi setelah sempat terkikis oleh pesimisme atas kemunculannya.

“Ini lagi makan siang di kantin sama temen, kalo Kak Erik?” aku mencuri waktu untuk mengetik pesan sambil menyantap nasi bakar.

“Udah, soalnya bentar lagi mau kuliah. Jangan-jangan makan mi instan lagi?”

“Ngga lah Kak. Lagi makan nasi bakar nih, mau? Harum banget loh hehe,” pesan ini kukirim beberapa detik setelah aku menyadari bahwa cara interaksiku selama ini menjadi berbeda hampir seratus delapan puluh derajat saat berkirim pesan dengan pengajar setengah malaikat itu.

“Lain kali aja ya hehe. Oh ya, Kakak mau kuliah dulu, nanti kalau udah beres Kakak kabarin.”

Dan aku pun sama sekali tak meminta ia melakukan hal ini.

“Yoana, ada apaan sih? Ada yang aneh di Facebook?” Retha memajukan tubuhnya untuk melihat apa yang sedang membuatku terpaku di hadapan ponsel. Tetapi yang tampil di layar hanyalah isi pesan singkat yang belum dibalas.

“Tha, aku sama sekali ngga pernah minta hal kayak gini loh,” aku menyodorkan ponselku hingga layarnya menghadap Retha. Lalu matanya membaca dengan cukup seksama.

“Wah, wah, pertanda nih. Pertanda kalo dia…,” Retha melempar senyum menggoda, sama seperti yang ia lakukan saat membanjiriku dengan kata “cieee”. Rasanya sebentar lagi juga ia akan melakukan hal itu. Ditambah dengan tatapan tak kalah menggoda.

“Sekarang kayaknya aku deh yang harus tanya ada apaan sama kamu,” ujarku sembari menahan tawa. Sekaligus menahan perasaan menggelitik akibat prasangka tentang Kak Erik yang terus tumbuh seperti rumput liar.

Retha pun ikut tertawa, dan ia melanjutkan kata-katanya yang menggantung.

“Itu pertanda kalo dia udah nganggap kamu sebagai orang yang penting dalam hidupnya. Bahkan aku yakin temen deket pun belum tentu bakal bilang kayak gitu.”

Aku tak begitu yakin. Tetapi kalau dipikir lagi, perkataan perempuan tomboy serba tahu di hadapanku ini ada benarnya juga. Kebiasaan memberi kabar ketika kegiatan yang dilakukan sudah selesai rasanya hanya berlaku di antara anggota keluarga. Juga di antara sepasang kekasih.

RenaissanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang