SUARA sirine keberangkatan kereta api progo jurusan Pasar Senen – Lempuyangan membuatku menggeser posisi duduk. Aku sudah menunggu selama lima belas menit. Deru suara mesin kereta terdengar dibarengi dengan pergerakan posisi tubuh yang aku rasakan. Sinar matahari senja tak lagi menembus kaca jendela. Sudah mulai petang dan inilah yang aku nantikan. Aku menyukai perjalanan malam karena mampu membuat imajinasiku meliar.
Vendra tidak pernah membantah jika aku memilih jam malam ketika kami akan pergi ke luar kota. Kami sama-sama menyukainya. Kami akan diam mengamati setiap perjalanan tanpa mengobrol panjang. Sama-sama terjaga dan sama-sama sibuk dengan imajinasi masing-masing.
Menunggu aroma-aroma yang lewat dibawa oleh angin. Menganalisis atau bahkan menebak-nebak aroma seperti apa. Hal itulah yang membuatku bisa menghafal setiap aroma yang aku terima. Membayangkan rasa apa yang akan muncul selanjutnya. Sungguh kesibukan yang menurutku sendiri sangatlah aneh.
Sial! aku tidak pandai bersyair ataupun menulis prosa singkat, apalagi untuk berpuisi. Beruntung sekali mereka yang pandai mengabadikan semua perasaan ke dalam tulisan indah. Meskipun meliuk-liuk tetapi aku akui itu sangat indah. Terkadang aku ingin seperti mereka, tetapi aku tidak sanggup merangkai kata-kata yang ada dalam otak dan imajinasiku. Apa penulis itu sudah mempunyai bakat menulis sejak lahir? Katanya, menulis bukan bakat tetapi kemampuan, jadi semua orang bisa melakukannya. Eh, bukan katanya, tapi aku pernah membaca di salah satu buku. Entah buku apa, aku lupa. Kalau menulis itu kemampuan berarti sama dengan pisau ya? Harus diasah terus menerus. Tapi membutuhkan waktu lama. Aku selalu tidak sabar menunggu waktu. Waktu itu sebuah proses! Aku tahu! Tapi kalau prosesnya masih itu-itu saja? Usaha agar berkembang! Niatan usaha itu yang kadang-kadang terasa malas.
Bagaimana aku bisa dikenang orang jika mengabadikan sesuatu saja aku sama sekali tak pernah bisa. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku ungkapkan, terkadang aku bingung dan marah kepada diri sendiri bagaimana cara menyampaikannya.
Terkadang aku ingin mengubah pengalaman perjalanan menjadi paragraf narasi. Setidaknya aku bisa menghasilkan satu baris kalimat indah. Hanya beberapa kata juga tak apalah. Namun, ketika pena dan kertas sudah berada di depanku, tetap saja untuk menulis satu kata pun aku tidak mampu.
Tanpa aku sadari kereta telah tiba di Stasiun Lempuyangan. Aku tidak terlelap sama sekali. Pemandangan lampu tengah malam seperti membawaku entah pergi ke mana. Perjalanan selama sembilan jam yang menyusuri malam tanah Jawa Tengah, serasa satu jam aku bersama kopi.
Jogja serasa dingin. Udaranya sedikit lebih segar dari Jakarta. Aku memilih menunggu pagi di stasiun. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke Desa Petung pada pukul tiga pagi dini hari seperti ini. Apalagi harus melewati Kabupaten Sleman hingga Cangkringan. Menyusuri jalanan Kaliurang yang sepi karena masih banyak perkebunan dan hutan. Merasakan dinginnya suhu lereng Merapi. Paling tidak, setelah azan subuh aku baru bisa keluar stasiun.
Setelah azan subuh berkumandang aku keluar stasiun dan memilih ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Tidak berubah, Jogja masih saja banyak lalu lalang traveler dari berbagai negara. Mereka pasti baru saja keluar bar untuk kembali ke penginapan dan akan mengelilingi objek wisata Jogja pada jam dua siang nanti.
"Loh. Muleh toh koe, Ndung? Sekolah duwur-duwur arep tetap dadi petani? Arep melu bapakmu to? Rak ono seng sugeh petani kopi ki," ujar budhe dengan bahasa jawa kentalnya yang maksudnya, Loh, pulang ya kamu, Nak? Sekolah tinggi-tinggi mau jadi petani? Mau sepertibapakmu? Petani itu tidak ada yang kaya.
Tanpa jawaban. Hanya senyum sapaan yang aku lontarkan. Aku memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka. Aku melihat ayah berjalan dari dapur. Aku segera menyodorkan tangan untuk menyalaminya. Sangat terasa kerutan di kulit tangan dan beberapa ototnya terlihat. Sudah berapa puluh tahun umurmu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Monolog Kopi
General FictionSINOPSIS "Kopi itu Candu yang Bikin Rindu" Permasalahan hidup perlu diimbangi dengan kontrol yang baik, jika tidak, dapat dipastikan rasa pada seluruh indra akan mati, tak dipungkiri pula dengan perasaan. Padahal, pengindraan itu merupakan media uta...