Pahit. Tidak akan pernah ada lagi kata itu. Biarkan mengalir menetes dalam seduhan, biarkan meresap dalam lidah, hanya tinggal menunggu waktu. Maka, kau akan merasakan manisnya, tertinggal lama, cukup lama.
Rasakan baik-baik, resapi dengan teliti, deteksi dengan kepekaan. Maka, istimewa, kompleks, dan kaya melebur di dalam kesederhanaan. Pengibaratan apa yang tepat untuk pahit sebagai awal dan manis sebagai akhir?
Kehidupan. Aspek yang satu ini tidak akan pernah hilang sebelum waktu berganti. Memang terlihat sederhana, tetapi mengapa selalu begitu rumit? Itu semua rumit karena masalah yang dibuat sendiri. Akhirnya harus mengatakan bahwa, lebih rumit lagi ialah teka-teki bernama takdir. Sulit memang, tetapi bagaimana lagi? Mudahnya, biarkan kopi ikut mengalir dalam menyusuri hidup. Ikut menemani ketika kau berada pada titik pahit dan mengesankan ketika kau sudah berada di titik manis.
Kopi tak pernah meninggalkanmu seorang diri karena kopi mengobati kesendirian. Menemani kesendirian ketika melakukan perjalanan di dalam labirin otak. Meskipun tak pernah tahu di mana pintu keluarnya dan lupa pintu masuknya, tetapi bersama kopi tetap akan baik-baik saja.
Sejatinya kopi juga sebuah perjalanan panjang hulu ke hilir. Perjalanan awal dari petani, ketepatan dari perhitungan numerik para roaster, deteksi rasa oleh seorang coffee cupper, hingga berada di tangan sang barista. Lalu, berakhir di atas cangkir untuk menemukan pecintanya.
Mempertahankan profesionalitas memang menjadi sesuatu yang penting. Mendapatkan kepercayaan di dunia kopi berkat kerja keras dan pemahaman dengan fokus maksimal. Hingga, kopi mampu memperbaiki kehidupan. Jangan pernah tinggalkan. Membutuhkan perjalanan untuk menyajikan kopi lebih dari sekadar sederhana. Bukankah, hidup juga sebuah perjalanan yang tampaknya sederhana, padahal sama-sama kompleksnya?
Kegagalan wajar menimpa semua orang. Tak perlu menyalahkan waktu atau menghakimi Tuhan. Mengapa aku begini, betapa bodohnya aku, atau apa yang harus aku lakukan sekarang. Mengurung diri untuk mencari ilham atau memang tak mau bertemu dengan orang-orang, atau bahkan ingin sekadar bermonolog. Dialog internal hanya sebuah permainan perasaan yang terus beradu dengan pemikiran, lalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru dari setiap jawaban. Terkadang semua itu bisa membuatmu (hampir) tidak waras.
Pukulan Tuhan yang satu itu memang tidak bisa ditolak. Menyalahkan diri sendiri pun cukup mudah melakukannya. Namun, apakah akan berada di jurang itu terus menerus? Kau bukan pengatur waktu, bukan juga penulis skenario untuk dirimu. Kau hanya pemeran, entah itu antagonis atau protagonis, atau akan menduduki dua posisi tersebut secara bergantian.
Lalu, apa yang bisa mengubah hal buruk dengan sedikitnya menjadi hal baik? Inspirasi, motivasi, kesadaran, atau bahkan masa lalu? Semua itu benar bisa, tetapi peranan pentingnya ialah PERASAAN dan PEMIKIRAN.
Perasaan, seperti cinta yang mampu mengubah sesuatu hal menjadi lebih baik meskipun hanya nol komah nol satu persen dari nol komah nol nol sepersekian persen. Ah, tampak begitu rumit. Biarkan saja berjalan mengalir seperti air. Namun, bukan berarti harus mengikuti arus terus menerus. Membutuhkan waktu untuk menepi sejenak, lalu, mengatur strategi baru untuk menentang arus. Bukankah, pemikiran juga penting peranannya. Memadukan perasaan dan pemikiran memang sulit. Namun, ketika sudah menyatu, mampu keluar bersama dan memekakan seluruh indra.
Perdebatan antara pemikiran dengan perasaan tak pernah ada hentinya. Leburkan pelan-pelan, hidup memang seperti itu. Ibaratkan saja dengan kopi. Akan jelas terasa bagaimana perjalanannya. Melelahkan, membutuhkan kesabaran, mau tak mau harus siap menelan pahit? Iya memang, tetapi jangan kau dustakan nikmatnya atau kau sombongkan hasilnya. Karena, sejatinya, semua itu ialah perjalanan yang membutuhkan waktu, proses, strategi, hingga perjuangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/91947500-288-k642926.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Monolog Kopi
Tiểu Thuyết ChungSINOPSIS "Kopi itu Candu yang Bikin Rindu" Permasalahan hidup perlu diimbangi dengan kontrol yang baik, jika tidak, dapat dipastikan rasa pada seluruh indra akan mati, tak dipungkiri pula dengan perasaan. Padahal, pengindraan itu merupakan media uta...