Aroma 2: Bersama Kopi, Aku Baik-baik Saja

185 3 0
                                    


ENAM tahun lalu, meskipun mata ibu tertutup tetapi bibirnya tersenyum. Refleks aku ikut tersenyum kecil lalu bibirku semakin mengerut sambil menahan suara yang tertahan di pita suaraku. Terasa sakit memang, kemudian satu tetes air mata kembali bergulir. Aku segera memperbaiki letak tangan kirinya yang masih belum menempel tubuh.

Sekali lagi aku pandangi wajah wanita paling hebat yang terbaring di depanku, semakin cantik saja. Mengapa pada waktunya habis manusia semakin memancarkan aura aslinya? Segalanya tampak sempurna dalam dirinya. Tak kuat aku menahan rasa sakit yang semakin mencekik tenggorokkan.

Aku menunduk beberapa detik untuk membiarkan air mata itu keluar dan berhenti ketika telapak tanganku membasuh. Aku bangkit mundur untuk memberi ruang agar pelayat lain bisa melihat sebelum keranda itu diangkat. Lelaki yang juga aku banggakan masih belum mau beranjak dari samping jenazah istrinya itu.

Beberapa menit sekali tangan ayah merapikan setiap sudut lekukan kain kafan yang sebenarnya sudah rapih. Menata rambut ibu agar tak ada yang menutupi bagian muka, padahal sudah dikepang rapih setelah dimandikan.

Beberapa menit sekali, ia juga akan menata tangan ibu agar menempel perut, padahal sudah tepat posisinya. Kesempatan itu ia manfaatkan sebelum kain putih membungkus tubuh ibu dan tidak boleh dilepas lagi.

Matanya benar-benar tidak lepas memandang wajah wanita yang selama ini membuat hari-harinya berwarna. Aku yakin, pasti kenangan muda dulu memenuhi pikirannya. Masa lalu begitu bahagia tetapi juga bisa menyakitkan.

Tidak ayah, wanita itu tidak akan pergi dan juga tidak hilang. Ia akan kekal di alam sana dan jangan khawatir tidak akan bertemu dengannya lagi. Kita akan bertemu kembali meskipun harus melalui perpisahan ini. Bukankah di dunia ini selalu ada pertemuan dan perpisahan?

Aku tahu air matamu ingin sekali menetes, aku tahu tenggorokkanmu tercekik karena tangisan yang kau tahan. Aku juga merasakannya, Ayah. Rasanya begitu sakit dan tak bisa berkata.

Apa setiap pria merasa malu mengeluarkan air mata? Pria juga berhak menangis, tak ada larangan, bukan? Menangis juga menjadi obat. Air mata itu mengandung berbagai penyakit yang bisa membuat tubuh lebih sehat. Sayangnya, aku tidak pandai dalam dunia kedokteran, jadi aku tidak bisa menjelaskan secara rinci. Andai saja bisa, sudah aku jelaskan panjang lebar jika ada yang bertanya. Tapi, siapa juga yang akan menanyakan perihal pria tidak boleh menangis? Pada dasarnya, masih banyak sikap masa bodoh di dunia ini. Hmmm, membuatku sulit menemukan orang yang bisa aku ajak berpikir untuk menjawab pertanyaan yang terus-terusan diawali dengan kata 'mengapa'. Kenapa kau banyak bertanya begitu?! Pasti itu jawabannya. Ya karena aku ingin tahu! Kan aku bodoh! Jangan sampai aku berkata begitu. Terus merendahkan diriku sendiri untuk membela diri.

Ingatan itu kembali muncul ketika hirupan kopi memenuhi indra penciuman dan lidahku.

Kala senja, mengapa harus saat senja aku dapat menikmati waktu bersama secangkir kopi hasil racikanku sendiri? Mengapa ketika senja aku selalu mengingat semua kenangan itu? Tuh kan, lagi-lagi diawali dengan kata 'mengapa'. Sudahlah, memang itu yang masih bisa aku tanyakan pada diriku sendiri. Untuk apa? Bukannya selalu tak ada jawaban pasti! Meskipun tidak pasti tetapi masih bisa ditebak dengan positif. Ada kata 'kemungkinan', mengapa tak digunakan? Kemungkinan lebih dominan pada hal positif kan? Ah, sudahlah, aku ingin lanjut menarasikan mengenai perasaanku.

Mengapa harus kau, Ibu, wanita peracik terhebat dalam hidupku yang selalu hadir di kenanganku. Padahal kau begitu jahat karena tega meninggalkanku lebih cepat. Aku masih butuh bimbinganmu, aku masih butuh ocehanmu dari kenakalanku, dan aku masih butuh saranmu ketika aku dihadapkan pada lebih dari satu pilihan.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang