Aroma 10 : Monolog

34 0 0
                                    

DI Kopnat, aku sudah dikelilingi oleh tiga orang untuk menandatangani surat pembelian kedai Kopnat. Hari ini namaku sepenuhnya resmi menjadi pemilik Kopnat. Vendra meminta namaku yang tercantum di sertifikat ini dengan alasan aku mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian tempat. Rumah yang dulu kami beli bersama sudah terjual dan kami memilih kontrakan untuk tinggal beberapa bulan. Dulu, rumah minimalis itu sengaja kita pilih agar dapur bar lebih terlihat. Penambahan dapur bar sendiri di rumah merupakan ide Vendra. Katanya agar kami bisa bereksperimen.

"Di mulai dari dapur bar dulu, Har, semoga nanti kita punya kedainya," katanya waktu itu sambil tertawa. Sekarang, kita sudah memiliki kedai sendiri, dapur barnya lebih besar, bisa melihat orang-orang pecinta dan penikmat kopi datang dan memesan kopi favoritnya.

Pak Surya tidak meminta penawaran yang nekoneko, sehingga kami tidak perlu membujuknya dengan harga pembelian dua kali lipat. Ia percaya menyerahkan kedainya pada kami. Uang hasil penjualan Kopnat katanya untuk membuka kedai yang lebih besar di dalam mall. Dengan konsep pada umumnya, menyediakan beragam kopi blanding untuk menarik perhatian pelanggan dan menyediakan fasilitas wifi. Menurutku itu merupakan kesalahan besar.

Sebelum ia membuka surat perjanjian itu, ia sempat menawarkan diri untuk ikut menjadi investor di Kopnat. Pemikirannya untuk mendapatkan omset sebesar-besarnya ternyata muncul kembali. Dengan tegas aku menolaknya. Tanpa pemberian modal darinya, kami sudah bisa menjalankan sendiri. Selama Vendra bekerja sebagai barista dan aku sebagai peneliti pertanian yang merangkap coffee cupper, kami rasa uang kami cukup. Kami tidak mau hasil keuntungan ini di bagi kepada orang yang tidak menghargai idealisme kami terhadap kopi.

Tangan Pak Surya menunjuk pada tempat yang harus aku tanda tangani. Tertempel materai dan tertulis namaku di bawahnya. Aku memandangi Vendra dan Grey bergantian. Ini akan menjadi awal perjalanan untuk mencapai tujuan kami. Meskipun aku tidak yakin dengan pemilihan menu kopi nantinya karena sinus yang menyerangku, tetapi aku percaya karena masih ada Vendra.

Tak ada suara lagi. Aku mengalunkan pena di atas materai lalu tanda tanganku sudah terbentuk di atasnya. Ada senyum pada masing-masing bibir mereka, lalu Pak Surya menyodorkan tangannya mengajakku bersalaman. Sekarang Kopnat resmi menjadi milikku dan Vendra, kami.

"Kita punya kedai sendiri," ujar Vendra dengan raut wajah bahagia. Aku dan Grey hanya membalas senyuman itu, "Aku yakin tujuan kita akan tercapai, berawal dari sini," lanjutnya dengan nada suara yang penuh semangat.

"Dan aku akan segera menunjukkan konsep interior seperti apa yang sudah aku pikirkan," kata Grey penuh antusias.

"Aku yakin idemu pasti keren," kataku. Grey hanya tersenyum ringan. Aku pernah melihat senyuman itu, senyuman yang sering terbesit beberapa detik di ingatanku. Aku merasa seperti dejavu, pernah berada di depan seorang wanita yang masih tersenyum padaku, tetapi yang ini lebih bahagia.

"Har," suara Vendra mengagetkan, membuat mataku langsung beralih padanya, "Kau yakin tidak akan pergi denganku? Aku tidak mungkin mencari kopi sendiri. Aku butuh kamu, Har," lanjutnya.

"Aku tidak bisa, Ve. Akan sia-sia jika aku pergi dan aku tidak bisa menemukan kopi terbaik," ujarku.

"Kalau begitu aku tidak akan jalan,"

"Lalu menu Kopnat?"

"Sementara memakai konsep yang lama,"

"Tidak bisa begitu, Ve," sergapku, "Kau seorang barista, tidak mungkin kau buta dengan rasa kopi. Kau pasti bisa menemukannya. Kau juga bisa ikut pergi dengan Mas Bayu," lanjutku.

"Tidak bisa begitu bagaimana? Pengalaman pencicipanku belum sehebat kamu. Apa kau lupa? Kau juga membutuhkanku untuk menyampaikan pada penikmat kopi mengenai rasa kopi-kopi yang kau temukan itu? Sama, Har. Aku butuh kamu untuk membuat aku percaya diri mengenalkan rasa kopi kepada peminumnya," bentak Vendra beruntun. Aku tidak bisa mengatakan apa pun jika reaksi Vendra sudah seperti itu. Hening beberapa saat, "Grey, antar Har periksa ke dokter," katanya sambil mengarahkan pandangannya pada Grey. "Selama penciumanmu belum pulih, kita hanya punya dua pilihan. Ambil menu kopi sebelumnya atau mengikuti rekomendasi pilihan kopi dari Mas Bayu. Kita Bicarakan itu nanti saja. Terpenting, kita tidak akan pernah melepas roaster sehebat Mas Bayu. Aku tahu dia sudah percaya padamu dan dia ingin kau cepat sembuh. Sampai saat ini kau yang selalu memberi feedback baginya." lanjutnya sambil beranjak dari kursi dan mengambil tasnya.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang